(F).R.I.E.N.D.(S) #5

254 21 4
                                    

Setelah pesan yang berisikan ucapan anniversary itu mampir, Rinka tak menampik jika dirinya menjadi galau. Maka, sebelum ia kembali ke Jakarta, ia sempatkan untuk mampir ke kediaman keluarga Fajar di kawasan Antapani, Bandung.

Senyum hangat Ibunda Fajar membuatnya bernostalgia dengan memori lamanya. Wanita itu memang sempat menjadi orang tua keduanya, namun seiring dengan berjalannya waktu dan terpisah oleh jarak, keakraban itu perlahan luntur. Rinka menyadari itu. Jadi, tidak aneh jika saat ini ia menjadi canggung ketika bertemu kembali dengan Ibunda Fajar.

“Satu tahun ya, Rin. Kamu sibuk banget.”

“Iya, Bu. Aku jadi sering keliling, mendampingi band yang aku manajeri.”

“Oh, begitu. Sekarang kamu sedang sama siapa?”

Sebelah alisnya terangkat. “Maksud Ibu?”

“Fajar bilang, dia sudah tidak lagi sama kamu. Kalau boleh tahu, kalian kenapa putus?”

Hah?! Pertanyaan yang tidak masuk akal. Putus? Ia dan Fajar? Butuh waktu yang cukup lama bagi Rinka untuk mencerna pertanyaan Ibunda Fajar. Barulah semua terjawab saat ia melihat Fajar bersama perempuan lain.

Satu gelas, dua gelas, hingga gelas ke enam, perutnya sudah tidak bisa lagi menampung liqueur selanjutnya.

Mual. Asam lambungnya terasa sudah ada di ujung tenggorokannya. Ingin muntah.

Tidak! Rinka tidak sama sekali hancur saat melihat Fajar bersama dengan perempuan lain. Ya, ia bisa memastikan itu. Namun, langkah demi langkahnya semakin berat. Ia tak tahu harus melanjutkan langkah kakinya ke mana. Ia bahkan belum memesan penginapan. Tidak sama sekali terbesit di pikirannya.

Tatap mata Rinka kosong, memandangi gelas liqueur yang ke tujuhnya. Jari telunjuknya menari-nari di tepi gelas martininya. Kepalanya bertumpu pada tangan yang satu lagi. Matanya terlihat sudah setengah menutup, Rinka mabuk berat!

“Berhenti menyakiti diri kamu, Rin,” ujar seorang pria yang ada di depannya.

Bibir Rinka mencebik. Sekuat tenaga ia membuka matanya, kembali mengalihkan tatapannya pada pria itu. “Untuk apa aku menyakiti diriku sendiri? Tidak ada gunanya menyakiti diri sendiri hanya karena peristiwa bodoh, seperti tadi siang!”

“Kamu menyesal?”

“Untuk apa? Hah? Aku tidak pernah sedikit pun menyesalinya, Rano. Berhenti membahas tentang Fajar. Sejak awal, bukan hanya aku yang menghianati hubungan kami, tetapi dia juga ikut melakukannya. Aku begitu naif, ketika mengira dia setia mencintaiku, Ran.”

Rinka tidak tahu dari mana munculnya Rano. Saat gelas keduanya ia teguk, tiba-tiba saja Rano tanpa permisi duduk di sampingnya. Sungguh, Rinka tidak peduli dengan apa yang Rano lakukan, hanya sekedar kebetulan atau menguntitnya. Ia hanya merasa kemunculan Rano di hadapannya telah menambah lagi satu beban pikirannya, bukan justru membuatnya lebih baik.

Suara tangisan Rinka perlahan terdengar. Meskipun suara dentuman musik di dalam klub malam itu begitu membahana, namun Rano dapat menangkap sedikit perubahan nada suara Rinka.

“Kamu nggak bisa membayangkan sebesar apa rasa bersalahku pada Fajar. Selama hampir satu tahun aku seperti seorang penghianat. Aku menahan perasaanku sama kamu demi menjaga perasaan dia, Ran. Dan saat aku ingin memperbaiki hubungan kita, ternyata dia justru menunjukkan apa yang tidak pernah aku ketahui selama ini. Kami berdua konyol!” Rinka mengurai air matanya sambil sesekali tertawa disela-sela tangisnya.

Rano tak pernah melihat Rinka seperti saat ini. Jatuh begitu dalam karena beban yang ia tanggung. Kini, giliran Rano yang merasa bersalah telah menjauhi Rinka disaat beban itu benar-benar sedang berat dipikul oleh perempuan itu.

Sikapnya yang kesal karena ditolak Rinka justru membuat keadaan semakin buruk. Dan demi menebus semua itu, ia rela bolos latihan untuk festival Java Jazz yang akan diadakan satu bulan lagi dan terbang menuju Bali. Diam-diam mengikuti Rinka.

“Rinka, coba katakan sekali lagi,” ujar Rano sembari mengguncang tubuh Rinka. Ia tahu perempuan itu mabuk berat. Tapi, justru disaat seperti itulah kejujuran biasanya akan terungkap. Seperti pengakuan Rinka yang tidak sengaja terselip.

“Hentikan, Rano! Aku...”

Dan semua isi perutnya yang ia tahan keluar tak bersisa di lantai dan sebagian pakaian yang Rano kenakan. Ia memuntahkan kembali liqueur yang ia minum.

Setelah perutnya terasa normal kembali, kini pandangan Rinka semakin kabur. Lama kelamaan semua yang ada di hadapannya menghilang. Dan, gelap!

***

Rano berjalan menuju balkon kamar hotel yang ia dan Rinka tempati dengan membawa segelas air putih di tangannya. Semalaman, ia tak bisa tidur. Ucapan Rinka masih terngiang-ngiang di telinganya. Yang ia lakukan semalaman suntuk adalah menonton Rinka tertidur pulas di atas ranjang yang terbalut oleh sprei berwarna putih tulang.

“Minum dulu, Rin.”

Tanpa berkata apa-apa Rinka menerima air pemberian Rano. Tatapan matanya lurus ke depan menikmati pemandangan Kota Denpasar dari lantai delapan. Ia meneguk sedikit demi sedikit air tersebut tanpa sekalipun berkedip. Lalu, ia memberikan kembali gelas tersebut kepada Rano. Matanya terpejam, dan kedua tangannya terlipat di depan dada.

Rinka menarik napas singkat, masih dengan kedua mata yang tertutup. Sedangkan Rano masih berdiri diam tak bergeming di sebelahnya, ia masih menikmati pemandangan luar biasa didepannya. Kecantikan Rinka.

Thanks, Ran.”

“Untuk apa?”

“Semuanya. Pengorbanan kamu. Terima kasih banyak.”

“Aku merasa nggak pernah melakukan apa pun, terlebih lagi pengorbanan seperti yang kamu bilang.”

Lidah Rinka berdecak sebal. Masih bisa berpura-purakah Rano saat ini? Sudah jelas terlihat bahwa kedatangannya ke Bali adalah bukan tanpa sebab.

“Kamu sudah mengorbankan baju kamu semalam. Maaf atas kejadian itu.”

Meski mabuk berat, tetapi Rinka ingat betul apa yang telah terjadi pada dirinya semalam. Tentang peristiwa memalukan semalam, dan tentang peryataan cintanya yang tidak disengaja.

“Kamu nggak perlu kalimat pengulangan dari ucapanku yang semalam kan, Ran?”

Kedua mata Rano mengerjap. Inilah saat yang ia tunggu-tunggu. Ia siap memasang telinganya lebar-lebar. “Aku mau dengar itu, Rin.”

Rinka berhenti menikmati pemandangan yang ada di depannya, dan beralih menatap Rano. Ia menatap kedua mata Rano lekat-lekat. Mengumpulkan segenap keberaniannya. Dan membuang jauh-jauh keraguannya. Bahwa yang ia lakukan selama ini adalah benar. Bahwa yang ia rasakan terhadap Rano bukanlah suatu kesalahan.

Te amo también¹, Rano.”

###

¹ Aku juga mencintaimu

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang