F.R.(I).E.N.D.(S) #5

181 18 0
                                    

Ilse menggeleng malu-malu. “Saya nggak mengenal itu.”

Ya, sejak ia kenal pria yang satu ini, tiba-tiba obsesi untuk dekat dengannya muncul. Dan hal itu memicu Ilse untuk menutup rapat pintu hatinya bagi siapapun, kecuali Wilzar.

“Ah, begitu.”

Kini suasana canggung melanda mereka. Baik Ilse maupun Wilzar mulai kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam benaknya.

“Jadi, kamu menolaknya karena?”

Wilzar semakin berani bertanya. Meski dengan nada berhati-hati, namun, Ilse tahu jika pria itu sedang mencoba memancing jawabannya.

“Saya mencintai laki-laki lain!”

Pengakuan itu begitu lugas, dan tegas Ilse katakan. Karena ia sudah terlalu lama memendamnya. Namun, hanya sebatas itu. Ia tak berani melanjutkannya. Tiba-tiba saja, hatinya seperti diiris sembilu.

Air mata pun sudah tiba di pelupuk matanya, menyembul dan bersaing siapa cepat yang akan jatuh terlebih dulu.

Sekuat tenaga ia menahannya, tepapi, Ilse gagal melakukan itu. Sebutir air mata jatuh dan membanjiri pipinya. Akhirnya ia memilih untuk menyembunyikannya dengan cara membuang pandangan ke luar jendela yang ada di sebelah kirinya.

Percuma, Wil. Pengakuanku nggak akan merubah pendirian kamu. Pintu hati kamu jelas tertutup untuk yang lain. Aku hanya akan terluka lebih dalam lagi, kalau aku mengakuinya. Laki-laki itu kamu.

“Kamu nangis?” tanya Wilzar lembut.

Tanpa diberi perintah, pria itu menghentikan laju kendaraan dan menepikannya. Ia gamang saat tangis Ilse tiba-tiba saja pecah. Semakin menjadi-jadi, dan sesenggukan.

“Ils? Ada apa?” ia memastikan kondisi Ilse saat bahu perempuan itu bergetar hebat.

Ada apa? Masih bertanya juga apa yang sedang terjadi? Aku menangis, karena kamu!

Perempuan itu menepis tangan Wilzar yang hampir mendarat tepat di atas bahunya. Ia menolak keras hal tersebut kembali terjadi. Tidak akan pernah membiarkannya terulang kembali.

“Saya oke. Lebih baik kita jalan. Hari sudah semakin malam, dan saya butuh istirahat.”

“Tapi, kamu menangis. Saya nggak bisa membiarkan itu. Kamu menangis tanpa sebab, Ils.”

“Saya mohon, Wil.”

“Jangan naif! Saya nggak mungkin bawa kamu pulang dalam kondisi seperti ini. Seenggaknya kasih tahu saya kenapa kamu menangis?”

“Kamu bahkan bertanya; kenapa, ada apa?” tutur Ilse dengan senyum sinis yang mengekori.

“Ya. Saya perlu tahu. Atau, semua ini ada hubungannya dengan perjodohan kamu?”

“Cukup, Wil! Berhenti mengungkit tentang perjodohan bodoh itu. Kamu tahu? Saya menyesal menceritakannya sama kamu. Ini jelas hal paling bodoh yang saya lakukan, seumur hidup saya.”

Wilzar tertegun. Ia diam seribu bahasa, dan memilih untuk mundur.

Sedangkan, Ilse dengan matanya yang memerah serta air mata yang masih mengalir juga turut mengunci mulutnya.

Tanpa bertanya lagi, Wilzar kembali menyalakan mesin mobil sedannya dan menginjak pedal gasnya. Melanjutkan perjalanan mereka.

***

Tepat di depan sebuah rumah bercat coral, mobil tersebut berhenti. Pagar besinya yang diukir, berpadukan cat warna putih dan emas. Dan rumah tersebut tampak lengang, seperti tak berpenghuni.

Suara mesin mobil benar-benar telah berhenti. Lalu sejurus kemudian, sang pemilik rumah keluar dengan senyum yang menghiasi wajah mereka. Kedua orang tua, lengkap beserta adik laki-laki Ilse.

Kemudian, Wilzar turun mendahului Ilse yang masih berkutat dengan seat belt-nya. Namun, bukannya membukakan pintu untuk Ilse layaknya adegan di film-film, Wilzar justru menghampiri kedua orang tua Ilse dan menyalami mereka.
Ilse menonton adegan tersebut, dan dibuat tertegun. Kedua alisnya menukik, seraya berpikir keras; kapan aku mengenalkan mereka pada Wilzar?

Pertanyaan itu muncul sesaat setelah Ilse melihat keakraban keluarganya dengan Wilzar yang baru pertama kali bertemu.

Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Wilzar kembali dan membukakan pintu untuk Ilse. Dengan senyum terbaiknya, pria itu mengulurkan tangannya.

“Mulai dari hari ini, saya mau kamu jujur, Ils.”

“Jujur?”

Mereka berdua terlibat percakapan di pintu mobil. Sementara enam pasang mata memperhatikan mereka dari jauh.

“Ya, jujur. Katakan semua yang perlu saya tahu.”

“Tentang apa?”

“Tentang siapa laki-laki itu.”

Ilse semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Wilzar yang terkesan bertele-tele.

“Tunggu, sebenarnya ada apa dengan kalian? Kamu dan Abi, dan Umi? Kalian mengenal satu sama lain?”

Wilzar mengangguk, sedang Ilse mengerjapkan mata.

“Bagaimana? Bersedia memberitahu saya siapa-laki-laki itu?”

“Saya nggak paham. Laki-laki mana yang kamu maksud.”

“Pacar kamu, Ils!” tembak Wilzar.

Mulut Ilse terbuka sedikit. Butuh berapa kali penjelasan untuk membuatnya mengerti?! Batinnya geram.

“Saya sudah bilang kan tadi? Saya nggak kenal yang seperti itu, Wil.”

“Tapi, kamu mencintai laki-laki lain.”

Kesabaran Ilse sudah memuncak. Pria ini membuatnya kesal bukan main. Bahkan Ilse merasa seperti dipermainkan olehnya.

“Itu bukan urusan kamu!”

“Itu urusan saya, Ils.”

“Kamu bukan siapa-siapa saya,” sahut Ilse dengan percaya diri.

“Bukan siapa-siapa? Saya berhak tahu, karena saya juga terlibat dalam perjodohan itu!”

Jantungnya mendadak berhenti memompa. Praktis aliran darah terhenti. Wajah Ilse pucat pasi mendengar pengakuan Wilzar barusan. Mungkinkah?

###

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang