Awan dan Elang langsung menurunkan tubuh Nabas ke dalam mobil Elang. Nabas juga dipasangi sabuk pengaman.
"Kalian jangan culik aku!" teriak Nabas heboh.
"Dih, gua kalau nyulik orang juga selektif!" hardik Elang jijik.
"Terus kalian mau bawa aku ke mana?" Nabas keheranan sambil menatap satu-persatu kawannya.
"Udah, ikut aja! Oi, Sam ... gaspol ngapa! Mumpung belum Maghrib. Kalau udah Maghrib, susah tawurannya. Gelap bener kek masa depan Awan," omel Elang.
"Sok tahu, lu!" Awan menjambak rambut atas Elang membuat kepala Elang terangkat dan meringis kesakitan.
"Jam segini bar buka, El?" tanya Sammy sambil fokus membelokan mobil.
"Kalau ga buka, kita mutilasi bareng-bareng ownernya. Udah, gaspol aja, Sammy!" ucap Elang.
Dengan kecepatan tinggi, Sammy mempercepat laju mobil Elang yang sudah mulai berdebu. Entah kapan terakhir Elang mencuci mobilnya? Mungkin debu-debu yang menempel bisa digunakan untuk melukis oleh pelukis terkenal sedunia.
Akhirnya mereka sudah sampai ke bar. Akan tetapi, hal buruk malah menimpa Nabas. Tangannya gemetar menepis Elang dari hadapannya, dan dibukanya handle pintu mobil merah itu.
"HUEK!"
"Iuh!" Elang langsung bergidik jijik dibarengi kedua teman lainnya.
"Mantap ga tuh, udah mabuk keduluan dia," kekeh Awan.
"Emang parah bener Sammy nyetirnya, woy! Titisan Rossi mah dia," lanjut Elang.
"Woy, turun ngapa? Gua mau parkir, nih!" bentak Sammy mengejutkan kedua sahabatnya.
"Oh, iya ... ya maap, Bos!"
Elang membuka handle mobilnya lalu keluar. Disusul Awan juga yang sekalian menutup pintu mobil itu. Mereka menghampiri Nabas yang masih sedikit pusing.
"Mabuk, Bos?" Awan memijat-mijat leher Nabas.
"Heem. Lagian kenapa ngegas banget, toh?! Santai aja kan bisa!" protes Nabas sambil meliukan badannya ke kanan-kiri.
"Oi, sekarang?" tanya Sammy lalu melempar kontak mobil di tangannya kepada si pemilik.
"Masa tawurannya di sini?" tanya Nabas keheranan.
"Oh tidak, Anak Polos. Ikut gua!" Elang menarik paksa tubuh Nabas yang masih belum sembuh seutuhnya.
"Hush, jangan culik aku!" teriak Nabas heboh.
"Selamat datang di Bar Ngene Bar Ngunu, ada perlu apa, Mas?" tanya satpam yang ada di depan.
"Minum, Pak." Elang menurunkan tubuh Nabas.
"Minum? Bar?" Nabas mengerenyitkan dahinya heran.
"Iya, Nabas. Ayo!"
Mereka masuk ke dalam bar dan Nabas nampak biasa saja dengan kerlipan-kerlipan lampu warna-warni. Bagaimana tidak, kamarnya sendiri didesain seperti demikian.
"Daftar menunya mana?" tanya Nabas pada Sammy.
"Ini bar, Bas ... bukan restoran. Aneh aja nih anak, ah!" jawab Sammy.
"Ada teh hangat, ga? Aku masih mual soalnya." Pertanyaan Nabas membuat Sammy semakin kesal.
"Bang, dua puluh gelas!" teriak Elang pada mucikari langganannya.
"Wanjay, depresi lu, Bos?" tanya mucikari iseng.
"Biasalah, anak muda," jawab Elang.
Nabas duduk di salah satu sofa dan menikmati musik-musik yang diputar di bar tersebut. Sesekali alisnya yang tebal itu diangkat berulang kali untuk menggoda wanita-wanita. Sesampainya dua puluh gelas tertata di meja Nabas dan gang-nya, mereka satu-persatu meminumnya.

YOU ARE READING
Tak Setinggi Langit
RomanceBumi akan tetap jadi bumi walaupun memanjat dengan cara apapun. Begitupula yang harus menjadi takdir Nabastala yang tidak akan bisa menjadi seperti yang diharapkan Pelangi.