Nabas kaget karena sudah pagi, padahal ia merasa terakhir berada di bar dan ditawari minum oleh teman-temannya. Ia juga kaget karena masih memakai baju semalam, serta almamater Indah Permana yang tergantung tak karuan di bibir ranjang. Berulang kali ia garuk kepalanya, berharap ingatan kembali secara utuh.
"Sudahlah, ga penting. Sudah pagi juga, saatnya mandi!" Nabas langsung bangun. Mengambil handuk yang tergantung di gantungan baju-bajunya.
Selesai mandi, Nabas turun untuk sarapan. Melisa dengan malas menatapnya, tapi dia tak peduli. Nabas lalu menikmati beberapa makan yang disediakan Shava lalu berangkat ke kampus.
Nabas heran ketika disambut oleh teman-temannya. Beberapa gadis memberikan bucket bunga padanya.
"Hero gua manis bener!" Gadis itu dengan gemas mencubit pipi Nabas.
"A-pa? Gimana?" tanya Nabas bingung.
"Keren banget sih lu, Bas. Pukulan lu mantap bener!" puji teman lainnya.
"Pukulan opo, toh? Kalian ini aneh-aneh aja!" bentak Nabas.
"Ajarin gua unboxing orang, dong!"
"Gila, keren banget sih, lu, Bas!"
Nabas makin risih, dia memeluk erat bucket bunga itu lalu lari secepatnya dari sekumpulan teman-temannya. Sesampainya di kelas, dengan nafas terengah-engah ia duduk di samping Pelangi. Tanpa lirikan dan suara, Pelangi memeluk tasnya dan bergeser dari Nabas. Walau sedikit heran, Nabas hanya diam dan fokus menenangkan detak jantungnya yang masih berdebaran itu.
"Wanjay, dapet bunga lu?" goda Elang.
"Kayak orang mati, njir!" kekeh Sammy.
"Dari siapa tuh?" tanya Awan heran.
"Ga tau, ga kenal." Nabas meletakan bunga itu di meja lalu meliukan tubuhnya ke kanan-kiri.
"Lah, aneh nih bocah," gumam Sammy.
"Mereka yang aneh, Sam! Masa aku dateng-dateng langsung dipanggil hero-lah ... minta ajarin unboxing orang-lah! Mereka aku kira aku atlet angkat galon apa!" omel Langit lalu mendengkus kesal.
"Angkat besi, dong!" sahut Awan.
"Yuhu!" seru Pelangi.
"Ngapa?" tanya Elang keheranan.
"Dengarkan baik-baik, ya! Sehubungan dengan adanya pertemuan para dosen di seluruh Jakarta, maka, para mahasiswa Universitas Indah Permana hanya bisa mengikuti satu pembelajaran saja. Terima kasih!" eja Pelangi dari ponselnya.
"Asik!" teriak seisi kelas.
"Dih, ngeselin!" gumam Sammy lalu duduk dan menompang pipinya dengan telapak tangan.
"Ngapa, sih, Sam? Ngeluh mulu lu kayak antagonis Indosiar!" ledek Elang.
"Bukannya ngeluh, cuma ngeselin aja-lah. Kenapa ga sekalian libur aja?" protes Sammy.
"Ya jangan libur! Aku ga bisa ngelihat wajahnya Mbak Cantik, dong!" rayu Nabas sambil melempar cengiran paling mengerikan di muka bumi ini.
Pelangi masih ingat kata-kata Shava semalam, ia yang awalnya kasmaran mendengar rayuan itu berubah datar seperti kue krepes.
"Wanjay, sa ae lu, upil kadal!" ledek Awan lalu mendorong kecil bahu Nabas.
"Mood gua jadi hype bener! Udah kemarin menang tawuran, sekarang satu pelajaran doang, jadwalnya Pak Nata lagi! Beh, kek mimpi!" Elang duduk lalu menaikan satu kaki dan meletakan kedua tangannya di belakang.
YOU ARE READING
Tak Setinggi Langit
RomanceBumi akan tetap jadi bumi walaupun memanjat dengan cara apapun. Begitupula yang harus menjadi takdir Nabastala yang tidak akan bisa menjadi seperti yang diharapkan Pelangi.
