Tangga Kedua Puluh Empat

4 0 0
                                    

Nabas masih terus membasahi gudukan tanah kuburan Langit dengan air mata kerapuhannya. Ini sudah hampir satu jam--dan Pelangi masih terus memandang lurus nisan sang mantan kekasih yang mulai memudar ukirannya.

Uhuk!

Nabas terbatuk dari aksinya. Ia mengangkat kepala dari kuburan Langit. Wajahnya hampir dipenuhi pasir. Pelangi tersenyum gemas, meskipun tak bisa diungkiri bahwa air matanya masih menggenang sempurna di mata lentiknya. Pelangi membuka tas kecilnya, kemudian mengambil beberapa tisu.

"Jangan di sini, Mbak Cantik! Kasihan Mas Langit!" kata Nabas.

Pelangi mengernyitkan dahi. Apa maksud kalimat itu? Apakah itu sarkasme atau semacam candaan gelap. Tapi mungkin ini lebih tepatnya adalah sarkasme--ditinjau dari raut Nabas yang terlalu kaku untuk sekedar bercanda.

Pelangi tersenyum getir. Ia pelan-pelan mengusap wajah Nabas dengan tisu itu. Tangannya seketika terlepas setelah menyadari suhu tubuh Nabas mulai meninggi lagi.

"Habis gini Mbak Cantik anterin pulang, ya! Nabas badannya anget lagi, loh!" Pelangi berdiri, kemudian dia juga membantu Nabas berdiri.

Dengan lemas Nabas menggeleng, "Nabas mau kuliah. Kalau di rumah hati Nabas hancur soalnya ada Budhe sama banyak foto Mas Langit."

"Tapi Nabas nanti ngedropp terus ke rumah sakit dan disuntik, loh!" tutur Pelangi.

"Kalau ngedropp nanti ga usah masuk rumah sakit, langsung suntik mati aja. Terus kalau Nabas masuk surga, tinggal minta ke Tuhan buat Mas Langit lanjut shift buat jadi pacarnya Mbak Cantik lagi." Nabas berjalan duluan dari Pelangi.

Pelangi mempercepat langkahnya, "Nabas, mulutnya jelek!"

"Emang Mbak Cantik ga bosen sama Nabas? Mbak Cantik ga mau Mas Langit lagi?"

Pelangi diam, ia hanya menggandeng kekasihnya. Nabas berjalan agak tertatih, ia lemas karena kebanyakan menangis dan belum makan. Pelangi dapat merasakan tubuh Nabas yang panas-dingin.

"Nabas laper, ya? Mbak Cantik punya rekomendasi bubur ayam enak di sini."

Nabas tak menjawab. Dia hanya berjalan mengikuti keinginan pacarnya yang terus menggandengnya itu. Setelah beberapa langkah, mereka sampai di gerobak bubur ayam yang dilapisi cat biru tua.

"Eh, Mbaknya sudah lama ga ke sini? Sudah dapet gandengan baru?" tanya penjual bubur ayam itu--rupanya dia masih ingat Pelangi yang sering mengunjungi makam Langit seminggu sekali.

Pelangi mengangguk, "Iya, Mas ... kebetulan ini pacar baru saya."

"Oalah, ke sini buat kunjungi makam siapa, Mbak?"

Pelangi bingung menjawabnya. Kalau dijawab, "pacar saya', pasti Nabas cemburu. Tapi kalau dijawab mantan--dia saja belum putus dari Langit.

"Kakak sepupu saya," jawab Nabas, singkat.

"Oalaah, sepupunya dimakamin sini? Emang masnya orang mana?"

"Kepo banget toh, Mas? Mau tahlilan di rumah saya?" tanya Nabas--agak bercanda.

Pelangi menahan tawa, bisa-bisanya kekasihnya yang tiba-tiba pendiam mendadak kumat lagi gilanya. Pelangi menyodorkan kepalanya ke pundak Nabas sambil memijit kecil lengan mahasiswa asal Yogyakarta itu.

Tak lama pesanan datang. Pelangi mengambil mangkok Nabas dulu, kemudian meniup-niup sesendok bubur ayam sebelum disuapkan ke Nabas.

"Aku maem sendiri aja, Mbak Cantik. Aku cuma demam dikit, bukan stroke ringan," jawab Nabas, sarkas lagi.

"Oke, awas panas, loh, Sayang!" titah Pelangi.

Mereka makan sampai habis dan pulang. Hingga akhirnya, Nabas yang tenaganya mulai terisi mulai mengajak Pelangi berbicara lebih intens di salah kursi panjang yang jaraknya dekat dengan parkiran.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 16, 2024 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tak Setinggi LangitWhere stories live. Discover now