Pelangi masih melamun dengan kejadian pagi tadi. Ia hanya bisa memainkan mi ayamnya dan tidak nafsu makan.
"Makan apa gua cium, lu?!" bentak Jingga.
"Heh, maaf!" Pelangi menyantap suapan pertamanya lalu terkekeh.
"Sepi banget ga ada lu, Ngi. Ya walaupun lu ga bacot, tapi kek ada yang kurang, gitu. Mungkin gua kebiasaan ama lu mulu kali, ya."
Ocehan Jingga benar-benar diacuhkan oleh Pelangi. Ia masih melamunkan kejadian tadi.
"Hish, dengerin gua, ga, sih?!" bentak Jingga.
"Iya, Ngga?" tanya Pelangi lagi.
"Dih."
Nabastala melihat kedua gadis itu sedang di kantin. Lalu dibukanya dompetnya.
"Lumayan buat traktir. Itung-itung modus kecil-lah. Ntar kalo pacaran, aku porotin lagi Mbak Cantiknya," gumamnya.
Dengan percaya diri yang sudah tak terbendung lagi, Nabas duduk santai di samping Pelangi.
"Hallo, Mbak Cantik!" sapanya tanpa ada rasa malu.
"Eh, ada Mbak Manis juga," sapanya lagi pada Jingga.
"Dih, manas-manis-manas-manis ... lu kira gua kucing apa?!" bentak Jingga kesal.
"Mbaknya, sih ... manis!" rayu Nabas.
"Lu anak mana?" tanya Jingga heran.
"Anak Indonesia, Mbak."
"Bukan gitu, Setan! Lu itu anak jurusan apaan?!" Jingga meremas pahanya kesal mendengar jawaban Nabas.
"Psikologi."
"Sial, satu jurusan!" Jingga mengelus dadanya dengan sabar.
"Kamu bisa pergi, gak? Dari pagi kamu sudah buat saya kesal, tahu, gak?" usir Pelangi.
"Ga bisa. Kalau sehari ga lihat wajahnya Mbak dengan empat mata gini, hidup saya kayak ada yang kosong, Mbak. Percayalah ... hanya diriku paling meng...."
"Fales, anjir!" Jingga menampar kecil pipi Nabas lalu meminum jusnya lagi.
"Aku akan traktir kalian. Gimana?" tawar Nabas.
"Saya tidak mau. Saya bukan gadis miskin yang bergantung pada lelaki seperti dirimu," tegas Pelangi.
"Gua mau dong," kata Jingga sambil membulatkan matanya.
"Oke, Mbak. Sebelum itu, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Nabastala Buwana dari Yogyakarta. Sebut saja, Nabas. Calon suami Pelangi Car...."
"Bisa ga kamu pergi dari hadapan saya?! Saya malu dilihat banyak teman saya!" Pelangi lagi-lagi mengusir Nabas.
"Ga bisa, Mbakkkkk!"
"Halllooo, beban kampus!" sapa Awan lalu duduk di samping Jingga.
"Hallo, Mas Wowok!" sapa balik Nabas sok kenal.
"Wowok?! Nama gua Rawana Bagaskara ... bukan Wowok!" koreksi Awan.
"Hehe, Masnya brewokan, sih. Masnya mau sekalian ditraktir?" tawar Nabas ramah.
"Wanjay, vibes lu littelary kayak si Langit, ye. Ya udah, gua mau ... nasi goreng 5," ucap Awan.
"Mentang-mentang namanya Rawana ... pesan nasi goreng langsung 5!" sindir Nabas dengan nada mirip iklan permen Nikita.
"Satu buat gua, satu lagi buat gua makan siang, satu lagi buat makan malam, satu lagi buat sarapan besok, satu lagi buat cemilan sebelum tidur. Gitu, Bro!" jelas Awan dengan rinci.
YOU ARE READING
Tak Setinggi Langit
RomantizmBumi akan tetap jadi bumi walaupun memanjat dengan cara apapun. Begitupula yang harus menjadi takdir Nabastala yang tidak akan bisa menjadi seperti yang diharapkan Pelangi.