Tangga Keenam Belas

17 4 0
                                    

Masih pukul setengah lima sore, bahkan seruan sholawatan masih bersahut-sahutan, Jingga sudah dikejutkan dengan deringan telepon tak dikenal. Jingga bangkit dari tidur malamnya, lalu memanggil kembali sang pemilik nomor asing itu.

"Hallo!" sapa Jingga sembari mengucek matanya.

"Jingga, tolong gua!" teriak pria di balik telepon.

"Elang? Itu lu, kan? Lu kenapa?!" tanya Jingga panik.

"Ha-ha-ha, gua Rajawali ... temen lu sudah gua tawan sekarang. Kalau lu berani, ke sini, buruan! Karena mungkin ini hari terakhir Elang melihat dunia ini," ancam Rajawali.

"Gua ga mau ya mati gara-gara lu ... Jingga, tolongin gua, woy! Gua entar traktir martabak punyanya Nabas, dah!" rengek Elang.

"Uluh-uluh, mana ada cowo minta bantuan cewe, hah?!" bentak Raja.

"Ada, dan itu adalah gua. El, tunggu gua, yak! Awas mati, gua bongkar kuburan lu buat minta perjanjian lu!" ucap Jingga lalu mematikan sambungan teleponnya.

  Jingga langsung mandi dan bersiap menyelamatkan Elang. Ia lihat ayah bundanya masih tidur, maka dari itu berjalan mengedap-ngendap, khawatir jika keduanya terbangun.

"Anjir, baru inget kalau gua ga bisa naik montor. Terus gua di sana naik apaan, yak?" pikir Jingga.

"Oi!" sapa seorang di depannya yang saat ini memakai montor gedenya.

"Eh, Awan ... lu ngapa dah pagi-pagi gini seliweran?" tanya Jingga heran.

"Gua barusan joging di taman ... kalau dah jam enam itu rame, Bro. Makanya gua ambil jam empat-an lima sekalian buat nenangin pikiran," terang Awan.

"Wan, Elang ditawan ama Raja, nih! Anterin gua ke sana, dong!" paksa Jingga.

"E-lang ditawan Raja? Ha-ha-ha, apa kagak encok anak buahnya si Raja," ledek Awan lalu mengambil helmnya untuk diberikan Jingga.

"Ih, jangan ngatain Elang, yak!" Jingga menyahut helm dari Awan dengan paksa lalu naik di atas motor Elang.

"Posisi?"

"Ini udah dikasih alamatnya, kita tinggal ke sana aja, ayo!" seru Jingga.

   Akhirnya keduanya beranjak ke tempat Elang ditawan. Tepatnya adalah sebuah gudang berdebu dengan ukuran yang minimalis dan penuh dengan barang-barang. Jingga langsung turun tanpa melepaskan helmnya. Melihat kekhawatiran Jingga, Awan hanya bisa diam dan menahan cemburu. Bahkan Mega tidak akan sepanik itu setiap kali melihat dia kesakitan.
 
"El--El, lu di mana?! Woy, gua lagi pengen martabak, jangan mati dulu, yak! El!" teriak Jingga sambil celingukan ke atas dan ke bawah.

"Oi," sapa seseorang di belakangnya.

"Elang?"

  Elang memakai jas hitam lengkap dengan celana hitam rapi berdiri tegak di depan Jingga. Melihat itu, Jingga hanya menaikan salah satu bibirnya, "Lu diculik apa mau nyaleg? Rapi bener!"

"Jingga, mau kah kau menjadi pacarku?" ajak Elang, di depan mata Awan yang baru saja datang.

"Gu-a?" tanya Jingga tak percaya.

"Kagak, emak lu," jawab Elang ngasal.

"Hihihi, mau, deh." Jingga tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya yang menambah manisnya wajahnya. Tak salah jika Nabas menyebutnya Mbak Manis.

"El, jadi pesen berapa? Ini Ibu nanyain terus, loh." Entah dari mana Nabas datang sambil sibuk memainkan ponselnya.

"Aelah, nyokap lu itu bandar martabak apa debt colector, hah? Duit mulu otaknya! Sekarang, gua masih kasmaran ama Jingga, jangan diganggu mulu, ah!" tandas Elang.

Tak Setinggi LangitWhere stories live. Discover now