Tangga Kedua Belas

10 2 0
                                    

Melisa pulang sore, karena hari ini adalah hari ekstrakulikulernya berkumpul bersama. Setelah membuka pintu rumah, alangkah emosinya melihat semua lampu masih belum dinyalakan. Sambil berdumel, ia nyalakan lampu rumahnya satu-persatu.

Melisa berjalan ke atas, melirik Nabas masih tertidur sembari memeluk sebuah buku tebal, ia hanya mengembuskan napas agar emosinya tidak meledak-ledak. Rautnya berubah cemas ketika melirik kamar Shava, sebab Shava terlihat sedang demam mendadak. Shava mengenakan dua selimut sekaligus di tubuhnya, sesekali ia menggigil karena tak tahan merasakan meriang di tubuhnya.

"Mama!" Melisa dengan panik menghampiri Shava.

"Nak, akhirnya kamu pulang," ucap Shava sembari merintih kesakitan.

"Mama demam?" tanya Melisa cemas.

"Iya, Nak. Tadi ketika selesai masak, kepala Mama rasanya pusing banget. Mama minum obat anti sakit kepala yang kebetulan sisa satu, kemudian Mama tidur. Eh, agak sorean Mama meriang banget. Bahkan ga kuat jalan buat nyalakan lampu. Maaf ya, rumahnya gelap. Pasti Melisa terganggu banget," terang Shava lalu meminta maaf atas kekesalan Melisa.

"Astaga, gakpapa kok, Ma. Terus, siapa yang jagain Mama?" tanya Melisa heran.

"Ga ada, Nak." Shava menaikan selimutnya lagi.

"Mas Nabas ga Mama bangunin? Mama ga teriak minta tolong, kek ... apa kek, gitu?" Melisa tak habis pikir dengan Nabas.

"Jangan, Nak ... kasihan!" tutur Shava.

"Heh, kasihan? Mama juga kasihan, dong ... Mama kan lagi sakit! Wait, tadi aku lihat di statusnya Kak Elang lagi jalan-jalan sama Kak Jingga karena mereka pulang pagi ... pasti Mas Nabas juga pulang pagi. Memang dia tidur dari kapan?"

"Ya, pulang sekolah terus dia tidur langsung. Sudah, toh, Nak!" Shava berusaha menenangkan Melisa.

"What? Pulang langsung tidur? Indah Pernama pulangnya paling pagi jam setengah sepuluh, perjalanan dari kelas ke parkiran itu 15 menit. Kemudian, dari parkiran ke rumah 30 menit karena lagi macet ... so, sampai rumah jam 10:00. Sepulang sekolah, tuh beban langsung tidur, kan? And then, sekarang sudah jam enam sore lewat, dia tidur 8 jam, Ma! Mama masih bilang kasihan ke dia? Mama ... dia bukan anak kecil yang butuh tidur selama delapan jam, ini ga lumrah. Mama biarin tidur, sementara Mama di sini menggigil. Please, deh, Ma ... aku tahu Mama anggap Mas Nabas itu Kak Langit, cuma ini berlebihan, Ma!" protes Melisa panjang lebar.

Di sebelah, Nabas baru saja bangun tidur. Melihat pantulan langit gelap membuatnya kaget.

"Loh, aku buta?" tanyanya pada diri sendiri.

"Oh, gak ... udah malam ternyata." Nabas mengelus dadanya lega.

"Loh, heh? Aku tadi tidurnya mulai jam 10:00, toh? Sekarang udah jam setengah tujuh. Yo Gusti, aku ini tidur atau latian mati!" Nabas langsung beranjak dari kasurnya sembari mendumel tak jelas.

𝘽𝙧𝙖𝙠!

"Ibu! Sakit!" teriaknya heboh sambil memegang telapak kakinya yang tak sengaja menabrak lemari yang berada tepat di depan kasur.

Karena tendangan Nabas, lemari akhirnya terbuka. Seketika sebuah album foto jatuh sendiri dari lemari. Nabas memungutnya dan kembali duduk di pinggir kasurnya.

"Oalah, ini album fotonya Mas Langit, toh!"

Nabas membuka satu-persatu lembaran di album itu, foto pertama sudah disambut dengan foto Langit bersama dirinya.

"Dek Nabas, ayo mampir ke Jakarta lagi!" tulis Langit di samping foto tersebut.

"Nabas sudah ada di Jakarta, Mas ... tapi Mas Langit malah pergi," ucap Nabas seolah menjawab ajakan Langit.

Tak Setinggi LangitWhere stories live. Discover now