Keesokan paginya, Nabas terbangun dengan mata yang memerah. Ia membuka ponsel, melihat jam yang sudah melewati pukul dia bangun setiap harinya. Ia memandang seisi ruangannya, berantakan. Foto kakak sepupu melalang buana, dan dia dapat merasakan entitas baru di dahinya. Betul, itu adalah kain kasa yang sengaja dilitkan dokter di dahinya.
Nabas agak menggeliat, kemudian membangunkan diri dari rebah. Kepala terasa cenat-cenut, Nabas kembali merebah. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin. Dia hanya ingat bahwa kemarin dia berkuliah, kemudian bertengkar dengan dosen dan memutuskan untuk meninggalkan kampus. Ia menunduk, agak kaget juga dengan lutut yang membasah akibat luka kecelakaan siang kemarin.
"Bas, sudah bangun, Nak? Ibumu sudah datang!"
Energi Nabas sedikit terisi mendengar berita itu. Ia mendengar decitan pintu kamarnya, kemudian matanya dengan sigap menangkap wajah ibunya yang berdiri di kamar sambil membawa obat-obatan.
"Astaga, Le'h ... parah banget kamu kali ini." Hati ibu mana yang tidak nelangsa melihat anaknya dalam keadaan separah itu.
Nabas membuka tangannya lebar, "Bu, peluk, Bu!"
Argita mendekat, mengecup anaknya dengan penuh kehangatan. Dielus dahi sang putra, kemudian ditiup berulang kali, khawatir jika anaknya merasa perih. Shava turut masuk, kemudian memijat kaki keponakannya.
"Bu, Nabas gamau kuliah lagi!" rengeknya membuat Shava dan Argita berpandangan keheranan.
"Mbak bilang anakku banyak temennya, loh!" protes Argita membuat Shava melepas pijatannya.
"Bas? Tiba-tiba banget, Nak?" tanya Shava, meminta kejelasan keponakannya.
"Budhe, Nabas sudah capek perang sama anak Budhe!" adu Nabas dengan mata berkaca-kaca.
Shava kaget, sementara Argita nampak tenang, "Walah, anak Ibu masih ngelindur rupanya, ya?"
Nabas menggeleng sambil merengek," "Enggak, Bu ... Nabas sepenuhnya sadar, kok."
"Lah? Kamu lagi berantem sama Melisa? Anaknya Budhe yang pertama 'kan sudah meninggal," jawab Argita membuat Nabas tak tega membuat ibunya sedih dengan apa yang terjadi padanya. Belum lagi, ia takut kalau Argita dan Shava bertengkar dengan masalah yang terjadi padanya.
"Budhe, sarapannya sudah siap?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
Argita mengerenyitkan dahi, "Walah, kamu kelaparan, yo? Gitu bawa-bawa Mas Langit segala, hahahaha! Kamu mimpi masmu, ya?"
Nabas hanya mengangguk, sementara tatapannya begitu dalam dengan figura Langit yang masih tersisa. Nabas meraih tangan ibunya, kemudian menarik jempol ibunya.
"Ngepeng?" tanya Argita gemas dengan kelakuan anaknya yang ketika sakit selalu meminta agar jempol ibunya diulam dan digigit.
Nabas mengangguk manja, kemudian mulai mengulam jempol ibunya. Shava dan Argita saling memberikan kode, agar Shava segera mengambilkan sarapan untuk Nabas.
Nabas semakin menggeliat manja ke ibunya, kemudian menatap ibunya dalam, "Ibu ga keberatan kalau Nabas ga lanjut kuliah?" tanyanya, tentu dengan lafal kurang jelas karena dia masih menggigit jempol ibunya.
"Ibu sebenarnya keberatan kalau Nabas kuliah, soalnya Ibu kesepian di rumah," aku Argita, membuat hati Nabas bergetar.
"Ibu capek ngurus martabak sendirian?"
"Biasa aja, karyawan bapakmu 'kan banyak."
"Maaf, Bu."
"Maaf kenapa?"
"Nabas kumat, membuat kuliah Nabas sedikit berat."
"Nabas kena penyakit mental juga karena Ibu, toh?'

YOU ARE READING
Tak Setinggi Langit
Roman d'amourBumi akan tetap jadi bumi walaupun memanjat dengan cara apapun. Begitupula yang harus menjadi takdir Nabastala yang tidak akan bisa menjadi seperti yang diharapkan Pelangi.