Tangga Kedua Puluh Tiga

8 0 0
                                    

Di tempat lain, ada Nabas dan Pelangi yang sedang menyantap cilok berdua. Mereka kelaparan lagi setelah menangisi nasib Elang yang kehilangan ibundanya.

Di tengah-tengah sedang mengunyah segumpalan tepung kanji itu, Nabas menyeletuk, "Elang itu ga sayang ya sama Ibunya?"

Pelangi tersentak mendengar pertanyaan nyeleneh Nabas.

"Kok bisa Nabas nanyanya gitu?"

"Mbak Cantik lihat sendiri, tadi Elang ga nangis sama sekali. Satu lagi, Elang memilih masuk kuliah dan happy-happy di rumahku. Padahal ibunya dan Raja lagi sakit di rumah sakit."

"Kalau Elang ga ngampus pasti Mbak Cantik ga tau kalau seumpama Nabasnya Mbak Cantik punya gangguan mental, hm-hm?" jelas Pelangi, seolah meminta Nabas untuk berpikir positif dengan segala sesuatu.

"Hehehe iya ya."

"Hm, kan? Dan satu lagi, Elang itu ga nangis karena gengsi. Di situ 'kan ada Raja, ada kita juga, ada Jingga juga. Dia itu ga tega bikin kita sedih karena lihat dia nangis. Wong dia ga nangis aja kita nangisin nasibnya, apalagi nangis?"

"Hehehe bener juga ya."

"Elang termasuk kuat juga ya, Mbak Cantik. Dulu waktu Bapak meninggal, aku nangis paling keras di antara yang lain. Ibu sama nenek mah ga ada apa-apanya!" papar Nabas kemudian membuka mulutnya seolah meminta untuk disuapi lagid dengan cilok.

"Itu mah karena Nabas ga ada malu. Pasti sekarang Nabas malu, 'kan?"

"MALU BANGET! MANA PAS PENGAJIAN DIBAHAS TERUS SAMA TETANGGA!"

Pelangi tertawa mendengar cerita lucu pacarnya.

"Tapi Mbak Cantik harus tahu, dulu yang bisa nenangin Nabas cuma satu, coba tebak siapa?"

"Siapa? Mamanya Nabas?"

"Ibu mah ngomelin Nabas, katanya Nabas malu-maluin soalnya nangisnya kayak bayi minta helikopter!"

"Haha, terus siapaaaa sayang? Mbak Cantik nyerah deh! Haaaakkk!" Pelangi meminta Nabas melahap tahu bakso yang baru saja ditusuknya.

"Nyam! Mas Langit!" jawab Nabas sambil mengunyah tahu baksonya yang rasanya agak asam itu.

Pelangi tersentak dan terharu.

"Dia emang semenenangkan itu," ucapnya pelan sekali.

"Mbak Cantik ... Mbak Cantik!"

"Ha? Iya?" Pelangi terperanjat dari lamunannya.

"Makamnya Mas Langit di sini juga?"

"Iya, kenapa?"

"Ayo masuk lagi!"

"Eh ga boleh, sudah Maghrib sayangku!"

"Oh iya, pamali ya! Kalau dulu, waktu di Jogja waktu--"

"Hak lagi sayang, tinggal satu!" Pelangi menyuapi Nabas lagi.

"Waktu apa, Sayang? Lanjutin-lanjutin!" pinta Pelangi sambil mengikat plastik bekas cilok sebelum dibuang ke sampah.

"Waktu Mas Langit sama aku lagi main-main di belakang, Ibu selalu teriak. 'Nak Langit, Nabas sayangggg! Ndang bali, Le'h ... nanti ketemu momok, loh ... uhuk--uhuk!"

"Eh ya ampun, pelan-pelan kalau cerita, Sayang!!!!" Pelangi memberikan es cincau kepada kekasihnya.

"Momok itu apa?"

"Demit, Mbak Cantik."

"EH! YA AMPUN, JANGAN BAHAS BEGINIAN DI DEPAN KUBURAN DONG!"

"YA AMPUN! MULUT JELEK! MULUT JELEK! MULUT JELEK! MULUT JELEK!" Nabas terus menampar pipinya sendiri sebagai bentuk penyesalannya membuat Pelangi ketakutan.

Tak Setinggi LangitWhere stories live. Discover now