Tangga Ketujuh Belas

16 2 0
                                    

Setelah tenang dengan berbekal dua sampak tiga gelas dari dapur keluarga Buwana, Pelangi akhirnya menunjukan diri ke ruangan tadi. Ia melihat Nabas yang rautnya terlihat mengkhawatirkannya lalu seketika tersenyum manis saat berhasil menangkap objeknya. Pelangi lalu berjalan ke arah mereka, melihat masih ada dua box martabak dan teman-temannya yang terlihat kekenyangan. Pelangi tersenyum tipis, lalu mengambil martabak untuk memuaskan rasa inginnya.

"Dari mana?" tanya Nabas berbisik. Tentu tak lupa tatapan Nabas yang khas, dalam dan penuh kekhawatiran. Berulang kali juga Nabas mengeraskan rahangnya sebagai pertanda bahwa ia amat penasaran dengan keadaan kekasihnya.

"Dapur," jawab Pelangi penuh keyakinan. Membuat Nabas sedikit lega dan tersenyum tenang.

"Pulangnya aku anterin, yuk! Temen-temen udah mau balik soalnya," ajak Nabas lalu meliukan badan ke kanan dan ke kiri. Jujur martabak buatan karyawan orang tuanya ini benar-benar ia rindukan. Padahal sebelum melabuhkan diri ke Jakarta, Nabas ogah-ogah-an melahap martabak itu karena sangat bosan. Tak salah jika hari ini ia makan martabak begitu banyak, mungkin berat badannya juga sedikit naik.

"Pelangi, pulang bareng, yuk!" ajak Sammy. Mendengar itu, mata Nabas melotot tajam.

"Enak aja!" bentaknya lalu memajukan bibirnya. Pelangi dibuat gemas dengan raut Nabas saat ini. Sehingga senyuman simpul terlukis di wajah anggunnya.

"Ayo, Ngi! Hari ini bokap nyokap gua dah balik, jadi gua ga nginep di tempat lu lagi. Nah, sebagai tanda terima kasih, gua memutuskan untuk anterin lu balik," jelas Gina, membuat Nabas menghela napas lega.

"Kamu sama dia aja?" tanya Nabas lagi.

"Iya, Bas ... gapapa, kan?" tanya Pelangi dan dibalas anggukan mantap dari Nabas.

  Di tengah perjalanan pulang, Gina dan Sammy agak khawatir dengan keadaan Pelangi yang dari tadi hanya melamun. Akhirnya sepasang kasih itu hanya beradu pandang, lalu dengan kontak mata mereka saling bertanya, apakah perlu menanyakan keadaan Pelangi? Keputusannya jangan, sebab akan membuat Pelangi merasa makin khawatir dengan kekhawatiran mereka.

  Seperti layaknya film, Pelangi memutuskan membuka jendela mobil Sammy. Membiarkan semburan angin menampar kulit pipinya berulang kali. Ia ingin menangis lagi rasanya, sebab tadi belum puas dan kurang keras sehingga masih ada yang mengganjal di hatinya. Tapi karena mata Pelangi begitu tunduk pada tuannya, akhirnya tak turun-turun juga air matanya itu.

"Lang, kamu janji bakalan kasih aku lapisan langit baru. Tapi? Kenapa malah serumit ini jadinya? Apa salah aku pacaran sama Nabas? Apa aku melukaimu yang sudah tenang di sana? Jika iya, kenapa kau kemarin diam saja? Apakah kau memberi restu pada hubungan kami? Atau malah seperti biasanya kamu bungkam dan pasrah dengan keadaan?" pikir Pelangi lalu bernapas panjang, membuat Sammy dan Gina semakin khawatir.

"Baby, all okay?" tanya Gina penasaran.

"Hah? Iya, semua baik, kok," jawab Pelangi panik.

"Kalau ada apa-apa, curhat di grup ciwi-ciwi aja, ya! Me and Jingga akan dengerin curhatan kamu sampai your heart seplong sumur lobang buaya," hibur Gina. Ah, sial ... kenapa Pelangi malah tertawa mendengar ucapan Gina yang menirukan anak Jaksel itu.

"Jijik, anjir. Kayak Cinta Laura gitu mau lu? Ga cocok!" ledek Sammy terang-terangan. Tanpa memberi kata halus sedikitpun di kalimatnya itu.

"What? Gua paling jijik disama-samain sama my sister, Cinta Laura. Satu lagi, yang gua lakukan ini adalah sebagai example membudidayakan bahasa Jacksoul. You know, Sammy?" balas Gina, kali ini kepalanya dibuat ke kanan dan ke kiri, semakin mirip dengan anak Jaksel.

Tak Setinggi LangitWhere stories live. Discover now