C H A P T E R 29

56 7 1
                                    

Haii guys!
udh pada vote blum? Klo blum vote dlu yuk! Biar berkah hihi

Happy Reading 💙

----------------
----------------------
---------------------------

Anin berjalan gontai memasuki rumah di ikuti oleh Ezra di belakangnya. Rumah terlihat sepi karena Septian memang selalu pulang malam, dan Rega yang sepertinya sedang pergi membeli kebutuhan.

Ezra menghela nafas berat melihat Anin yang menaiki anak tangga dengan lesu. Bibirnya mengerucut dan pandangannya redup.

“Yang bener naiknya, ngegelincir mah siapa yang repot” ketus Ezra. Namun Anin hanya menatapnya tajam dan kembali melanjutkan langkahnya yang tadi sempat terhenti.

Ketika sudah sampai didepan pintu kamarnya, dengan cepat Anin masuk, lalu menutupnya dengan cara sedikit di banting. Anin menjatuhkan tubuhnya ke kasur, lalu memandang kipas Angin yang tergantung di langit-langit kamar, sambil menghela nafas lelah.

Perkataan Ezra yang memberi tahunya soal Luis, membuatnya lemas seketika. Saat di depan gerbang sekolah tadi, Anin mendesak Ezra yang tidak mau memberi tahu dengan siapa Lusi pulang.

Ezra bilang “Udah gausah pengen tau” ketusnya.

Anin kembali mendesak.

“Jawab dulu anjir!”

“Gak!”

“Kasih tau gue, gue berhak tau, Zra!” bentak Anin emosi, matanya menatap Nyalang pada Ezra.

Ezra menghela nafas lalu berucap.

“Dia pulang bareng sama...” Ezra menggantungkan ucapannya, membuat Anin menerka-nerka dalam hati.

Gak mungkin si Alek kan? Apalagi Gladis? Eh tapi.. gumam Anin dalam hati.

“Gladis” ucapan Ezra mampu membuat Anin lemas di tempat. Ia termenung lalu menunduk dan tersenyum miris.

“Lemes pren, kukira satu-satunya, ternyata salah satunya” gumam Anin tersenyum miris. Sakit. Ya, ini sakit, sekuat mungkin Anin menahannya. Tapi tetap saja terasa.

Luis yang berjanji, ia yang terlalu berharap, dan akhirnya terjatuh oleh harapan yang sudah ia buat sendiri. Anin sangat tidak suka berharap pada sesuatu yang kemungkinan menyakiti hatinya, seperti sekarang contohnya.

Teringat akan ponselnya. Ia merutuki dirinya sendiri karena tidak ingat bahwa dirinya memiliki ponsel yang sangat amat berguna.

“kenapa tadi ga kepikiran ya?” gumam Anin dalam hati. Sambil meringis.

Ia mengambil ponselnya di ransel. Menekan tombol power. Namun ponselnya tetap menampilkan layar hitam.

“Goblokk!! Mati segala lo!” umpat Anin. Ia berjalan menuju tempat biasa ia mencharger. Lalu mengisinya dengan tak sabaran. Menghidupkan kembali ponselnya.

Menghidupkan data seluler. Membuka aplikasi chat. Ia menghela nafas kecewa ketika tidak mendapat pesan satupun dari Luis.

“Malesin geh si Iis” gumam Anin. Ia termenung. Mengacak rambutnya frustasi.

“Ahh tau lah males, bodo amat!!” acuh Anin. Mulut memang berucap demikian, tapi pikirannya terus dipenuhi dengan segala praduga dan prasangka.

Ia memutuskan untuk membersihkan diri. Kegiatan yang lainnya nanti saja jika ia mau.

Setelah membersihkan diri. Anin turun kelantai bawah. Entah apa yang ingin dia lakukan. Kakinya hanya berjalan menuntunnya kelantai bawah.

Mencari makanan di dalam kulkas. Tidak ada. Anin menghela nafas dan menutup kembali pintu kulkas.

Posessive Boyfriend [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang