★ Mendahului Takdir ★

61 4 0
                                    

Ditulis oleh Isti'Anah

"Misi Pak, saya ingin tanya harga tanah dan biaya perawatan makam di TPU Kebon Sari berapa ya?"

Aku harap-harap cemas mendengarkan jawaban dari juru kunci makam. Kakiku rasanya sudah lemas hanya untuk sekedar berdiri, kalian tahu ini adalah TPU ke lima yang ku kunjungi. Permasalahannya ialah di TPU-TPU sebelum-sebelumnya harga yang ditawarkan sangat fantastis tak sebanding dengan dompetku.

"Biasanya bayar bulanan Mas."

Bulanan? Aku terpaku di tempat, pupus sudah harapanku di TPU ke lima ini. Rasanya lucu jika aku membayar uang muka satu bulan lalu di bulan kedua diselenggarakan aksi bogkar makam. Mau di taruh mana mayatku nanti? Di tanah tidak di terima apa iya dilarung ke laut?

"Butuhnya kapan Mas tim kami siap sedia 24 jam untuk gali kubur."

Mati dan mati! Kenapa harus serumit ini?

Boro-boro memikirkan bekal akhirat aku justru wira-wiri mempersiapkan banyak hal menyambut kematian. Tinggal kapan malaikat maut melakukan tugasnya. Aku tidak peduli jika pada akhirnya akan masuk neraka.

"Kalau pembayaran hanya sekali bisa Pak?" aku mencoba bernegosiasi.

"Maksudnya apa Mas?"

Melihat kerutan kening sang juru kunci makam aku jadi semakin ragu. Pasti jawabannya _'tidak bisa'_. Ini kota Jakarta, semua orang butuh uang untuk bertahan hidup atau setidaknya punya rumah yang layak, sedangkan aku sendiri harus ke sana-kemari untuk mencari tempat peristirahatan terakhir.

Perjalananku berlanjut ke TPU selanjutnya. Lagi-lagi aku harus menghela napas kasar. Aku yakin kali ini harga tanah dan jasa perawatan akan bersahabat dengan dompetku. Pemakamannya tidak mewah namun terjaga kebersihannya.

"Ada yang bisa saya bantu Mas?"

"Saya sedang mencari tempat pemakaman." jawabku malu-malu.

Wajah sumringah terpatri dari wajah Pak tua di hadapanku. "Wah itu bisa sekali Mas, jenazah akan dimakamkan kapan?" tanyanya jadi panik sendiri.

"Saya panggilkan tukang gali kubur dulu! Tunggu di sini tidak akan lama."

Dengan segera aku mencegah Pak Tua pergi. Akhirnya kami duduk di bawah pohon sembari menatap tempat peristirahatan yang sebentar lagi aku masuk ke dalam bagiannya. Kali ini aku mencoba terbuka pada orang lain kemudian menjelaskan alasan mengapa aku mencari tempat pemakaman.

"Jadi seperti itu ceritanya Pak," pungkasku. "Bapak ikut prihatin denganmu, apa tidak ada

solusi selain kematian? Tahu takdir Tuhan yang tidak diketahui manusia?"

Aku mengangguk lantas menjawab, "Jodoh, rezeki, maut akan selalu menjadi rahasia Ilahi."

"Itu Nak Langit tahu! Lalu bagaimana bisa Nak Langit seolah sudah tahu segalanya? Kita bukan Tuhan kita ini hanya manusia biasa."

Kalimat itu tak berpengaruh besar untuk ku. Ini hidupku yang memutuskan segalanya adalah aku. Bukan bermaksud mendahului takdir tapi semua yang kulakukan memang sudah tepat. Segala hal indah yang dulu kubayangkan bisa terwujud kini tinggal angan semata. Biar ku tegaskan sekali lagi. Aku akan segera mati!

★★★

"Namanya almarhumnya siapa Mas?" tanya tukang pembuat nisan.

Ya, setelah hari dimana aku menemukan pemakaman yang tepat kini aku beralih ke tukang pembuat nisan. Aku tidak segan-segan menyebutkan nama lengkap ku 'Wardana Salangit'.

"Tempat tanggal lahir?"

"Jakarta, 17 Agustus 2000." jawabku.

Umurku saat ini menginjak 23 tahun. Hal yang paling ironis adalah aku baru saja lulus S1 cumlaude dan mendapatkan beasiswa penuh S2 di Eropa. Kini beasiswa itu hanya tinggal cerita belaka. Aku tak lagi memiliki semangat hidup apalagi semangat belajar.

Semesta Punya RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang