Ditulis oleh Isti'Anah
"Apakah mimpi hanya sekedar bunga tidur untukmu? Apa jadinya kalau mimpi ternyata petunjuk dari Tuhan bersama munculnya keajaiban?"
★★★
Waktu terus bergulir, kurang lebih 1 bulan telah berlalu dan Bapak masih saja menganggur. Uang pemasukan keluargaku jelas sedang tak baik-baik saja. Bayangkan dari kemarin sore kami hanya memakan singkong rebus sebagai pengganjal perut dan air putih sebagai selingan.
Sekarang aku dan Dimas-Masku hanya bisa termenung di teras. Hari mulai gelap, terlihat cakrawala telah kembali ke peraduan. Sekali lagi aku menatap lembayung senja yang terlukis indah di langit Yogyakarta. Akan tetapi, kami berdua masih was-was enggan beranjak dari kursi sebab sedang menantikan kepulangan Bapak. Semoga saja ada kabar gembira.
"Mas! Bapak durung mulih, Ajeng dadi kuwatir." ungkapku pelan dengan perasaan campur aduk. Bukan masalah perut yang mengusik pikiranku untuk sekarang ini melainkan kondisi Bapak. Bagaimana dengan Bapak?
"Awake dhewe mlebu mangan dhisik, dilit engkas Bapak mulih Dek! Aja kuwatir."
Mas Dimas terus menenangkanku. Tapi perasaan khawatir tak akan hilang dengan mudah. Karena tidak biasanya, hari sudah larut dan Bapak tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Kami tahu jika waktu Bapak lembur kerja pasti selalu memberi tahu kami terlebih dulu.
"Awake dhewe ora ngenteni Bapak, Mas?" tanyaku murung.
Mas Dimas mengelar sajadah pelan lantas menatapku teduh, "Wektu Maghrib mung sedhela, mbok menawa Bapak mampir sholat ning masjid. Saiki nganggo mukena, sakwise garap tugas sekolahmu."
Kami melakukan aktivitas seperti biasa meski hanya ditemani lentera. Listrik pintar di rumah sudah di putus pihak PLN karna minggu lalu Bapak benar- benar tidak ada uang untuk membayar. Syukur-syukur masih ada warung yang bisa diutangi sembako.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam aku sudah menyelesaikan tugas sekolah dibantu Mas Dimas yang sabar menjelaskan soal yang sekiranya sulit dimengerti. Lalu kami berdua memutuskan kembali duduk di teras sembari menunggu kepulangan Bapak.
Angin malam terasa menusuk-nusuk kulit kami. Mas Dimas tidak tinggal diam segera memintaku masuk ke kamar agar beranjak tidur alih-alih menurutinya aku yang keras kepala. Sampai akhirnya angin berembus sangat kencang memberikan tanda bahwa hujan akan segera turun. Kutatap langit tak muncul bintang berganti peran dengan sambaran kilatan-kilatan kecil.
"Ayo tutup jendelane, kayane arep udan deres." Mas Dimas menghalangiku saat hendak membuka jendela.
Aku membuang nafas gusar, "Aku arep ngenteni Bapak mulih, lawange uwis dikunci Mas Dimas, mengko Bapak ora iso mlebu turu ning njaba."
"Kuncine, ning ngisor keset, uwis-uwis sakiki turu wae Dek!" tegas Mas Dimas.
★★★
Mentari terbit dari ufuk timur, sinarnya perlahan menembus lebatnya dedaunan rindang hingga menyentuh permukaan tanah, kicauan burung yang merdu menambah syahdunya suasana pagi di pinggir desa sungai Progo.
"Wingi bengi Bapak mantuk jam pinten?"
Aku membawa tiga buah singkong rebus kemeja saji. Melihat gelagat diam sang Bapak aku jadi tambah khawatir, apalagi Mas Dimas sudah pergi ke juragan batok untuk melamar pekerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Punya Realita
Historia CortaSeperti yang diiginkan semesta. Jika memang harapan ini harus gagal di tengah jalan, maka tak mengapa. Jika memang tak boleh bermimpi terlalu tinggi, maka tak masalah. Akan tetapi, biarkan pemimpi ini mewujudkan bunga tidur seindah-indahnya. Yang re...