Ditulis oleh Mila Amelia
Rasa iri adalah hal yang manusiawi. Hal itu selalu terjadi ketika melihat manusia yang memiliki lebih banyak hal dari pada harus pada manusia lainnya. Rasanya seperti ingin hal yang sama, merasakan kebahagiaan yang sama, daripada harus bersyukur dengan apa yang ada. Memang iri bukanlah hal yang benar.
Bagi Dion, rasa ingin adalah makanan sehari- hari. Banyak hal yang ia inginkan di dunia ini, bahkan hal paling terkecil sekalipun. Namun, ia tak pernah berani memintanya pada sang Ayah, si tulang punggung keluarga satu-satunya. Ia tak mungkin tega meminta barang-barang yang harganya setara dengan makan sehari-hari mereka.
"Maaf ya, Nak. Ayah cuma bawa nasi bungkus aja, nanti Ayah bawakan makanan yang enak, ya." Begitulah yang Ayah ucapkan tiap kali pulang membawa barang dagangan. Ayah Dion hanya berjualan makanan ringan di pinggir jalan, terkadang lelaki berusia 40 tahunan tersebut juga mencari sampah untuk ditukar dengan pundi rupiah. Apapun ia lakukan untuk anak semata wayangnya.
Ibu Dion pergi entah kemana. Seakan meninggalkan tanggungjawab seumur hidupnya tentang Dion, melupakan suaminya yang juga butuh tempat untuk bertumpu bersama. Hal ini sering menjadi cemooh bagi Dion di sekolah, mulai dari nasib keluarganya, hingga sang Ibu yang menghilang tanpa jejak. Dion disebut tak pantas sekolah, lebih baik ikut bekerja saja dengan ayah.
"Nak, tak perlu dengarkan kata teman- temanmu. Mau ibu tak ada atau Ayah hanya kerja seperti ini. Kamu tetap berhak sekolah, cari ilmu yang banyak. Agar tidak seperti Ayah yang kerja serabutan."
Ayah selalu menomorsatukan pendidikan Dion daripada dirinya. Bagi ayah, Dion itu seperti bibit emas yang ingin dia rawat dan jaga sebaik mungkin. Tak peduli ia harus terjang hujan atau melawan panas. Pundi rupiah harus bisa ia salurkan untuk bibit emasnya itu.
Bersyukur, Dion bisa berfikir dewasa melebihi usia mungilnya. Ia belajar dengan giat, menjawab semua cemoohan orang-orang dengan ranking paralel yang ia dapat. Terkadang Dion memilih membantu ayahnya bekerja di akhir pekan daripada menghabiskan waktu untuk main bersama teman. Walau batin Dion ingin melakukan apa yang anak seusianya dapat, tetapi nuraninya sebagai anak hanya ingin membantu ayahnya bekerja.
Terkadang ayah melarang Dion untuk membantunya. Ayah hanya ingin Dion istirahat dan sibuk mengerjakan tugas, atau bermain dengan anak sebayanya.
"Gak apa-apa, Ayah. Ayah siang malam bekerja buat Dion, masa sehari dua hari saja Dion tak bisa luangkan untuk bantu Ayah," jawab Dion dengan senyum manisnya. Sangat terharu melihat bagaimana anak seusia Dion yang baru satu dasawarsa memiliki pemikiran seperti itu.
Waktu berlalu terlalu cepat hingga Dion akan menginjak sekolah menengah atas, finansial selalu jadi kesulitan utama. Ayah mencari pinjaman sebanyak yang ia bisa, Dion tak tega melihat sang ayah. Ketika ayahnya sedang termenung di ruang utama, Dion menepuk pelan bahu lelaki itu.
"Yah, istirahat. Biar Dion kerja saja. Urusan sekolah bisa nanti-nanti, tak perlu dipaksakan," ucap Dion.
"Nak, sekolah itu tak bisa di nanti-nanti. Satu tahun pun berharga untukmu belajar, tak perlu khawatir. Ayah bisa dapat uangnya besok, siap-siap saja untukmu sekolah." Ayah memang keras kepala tentang sekolahnya, Dion tahu usahanya percuma untuk meminta sang ayah istirahat sejenak.
Dion bertekad ingin bisa berkuliah di PTN, atau bahkan di luar negeri. Terkadang ia nyaris menyerah karena takdirnya yang tak semulus orang-orang. Jangankan untuk berkuliah, untuk biaya SPP sekolahnya pun sulit untuk didapat. Mungkin beasiswa akan jadi jawabannya.
★★★
"Eh, lo kenapa, sih? Belajar mulu. Emangnya gak pusing liat buku mapel terus, hahahaha," ejek Rama si anak yang penuh keberuntungan tetapi malas menggunakannya.
Dion tahu setiap hari ia hanya jadi bahan olok- olok Rama saja. Sangat heran di jaman sekarang pembullyan masih tetap ada.
"Daripada belajar mulu. Mending bantuin bapak lo aja. Tadi gue liat dia lagi keliling deket rumah gue, duh kasian banget. Lo sekolah paling Cuma jadi kaya ayah lo aja ya-"
BUGH!!
Satu pukulan keras menyentuh rahang Rama dengan spontan. Hingga pria itu oleng ke belakang, membuat seisi kelas menjadi riuh tak karuan. Rama yang terbakar emosi, ikut berusaha memukul balik. Suasana kelas jadi tak terkendali dan berakhir membawa dua pemuda itu ke ruang BK.
"Nak, kapan Ayah pernah ajari kamu untuk berkelahi?" tanya ayah sambil mengobati lebam di sudut bibir putranya dengan perlahan.
"Dia hina Ayah. Mana bisa aku biarkan, dia bisa hina Dion, tapi jangan hina Ayah," tegas Dion dengan suara bariton lantang. Dion jelas tak terima dengan ucapan Rama, ayahnya sudah mati-matian kerja selama ini, bisa-bisanya disebut begitu dengan seenaknya.
"Orang cerdas itu melawan bukan hanya pakai otot, Nak. Tapi juga pakai otak, pukul-pukulan tak ada hasilnya. Hanya babak belur gak karuan begini."
Dion terdiam. Sembari meresapi kata-kata sang Ayah, Dion membulatkan tekadnya untuk berusaha mengejar cita-citanya walau dalam keadaan seperti ini. Akan selalu ada jalan baginya untuk mencapai itu.
Kegiatan sekolah Dion tambahkan dengan banyak kesibukan. Tak hanya belajar teori saja, ia juga mencari prestasi dari ekstrakulikuler yang ada. Karena prestasi ini yang juga akan membantunya kelak. Tak peduli ia bisa ikut berkumpul dengan temannya atau tidak, ia hanya ingin bisa mendapat hasil yang baik untuk PTN nya kelak.
Hingga tak terasa, pengumuman SNMPTN dan SBMPTN membawanya pada titik terendah dalam hidup. Ia ditolak habis-habisan. Semua planning yang ia susun hancur berantakan, masa depannya seperti diambang ketidakpastian. Rasanya sangat sakit melihat usaha mati-matiannya nampak tak membuahkan hasil. Ia menangis di depan sang Ayah meminta maaf atas segala kegagalannya, sedangkan sang Ayah hanya tersenyum lembut seperti biasa.
"Nak, rejeki itu di tangan Tuhan. Tak perlu khawatir walau gak diterima sekarang, Tuhan punya rencana yang lebih baik. Katamu masih ada banyak jalan, kan? Coba lagi sebisamu, jika bukan rejekimu lagi tak apa. Waktumu masih panjang."
★★★
Dion merapatkan jaketnya. Mengarungi lautan manusia yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Netranya melihat-lihat bentuk bangunan bernuansa putih bersih dengan lantai marmer yang rapih. Beberapa orang berjubah putih berlalu lalang melakukan profesinya, tercium bau obat-obatan yang khas dari setiap presensi mereka.
Hingga Dion berhenti disebuah ruang bernomor, membuka pintunya dengan perlahan takut mengagetkan sosok yang ada di dalam. Ia bisa melihat orang terpenting di hidupnya tengah berbaring dengan lemah di atas ranjang dengan infus yang mengalir kedalam badan, netranya terlihat senang menyambut ke- datangan Dion.
"Kabar Ayah gimana?" tanya Dion yang kemudian mencium punggung tangan sang ayah.
"Gapapa, Ayah udah mendingan, Nak. Kenapa toh kamu engga kuliah saja?" jawabnya.
"Udah selesai, Yah. Lancar kuliahnya, beasiswa Dion juga sudah terdaftar.
Semuanya sudah beres, besok-besok Ayah istirahat aja dirumah. Uang saku Dion cukup buat kita berdua, gaperlu capek-capek kerja lagi." Dion tersenyum lembut mengusap punggung tangan ayah yang masih terasa sama seperti dahulu.
"Makasih Ayah. Udah usahain semuanya buat Dion. Dion paham gimana usaha Ayah buat Dion. Sekarang, tugas Ayah buat sekolahin Dion udah selesai, waktunya Ayah istirahat, senang-senang. Semuanya biar Dion yang urus, Dion yang kerja buat Ayah."
Benar kata sang Ayah. Rejeki selalu datang darimana saja. Beberapa bulan lalu, di tengah keterpurukan Dion atas kegagalannya, Tuhan menjawab semua rasa sedihnya dengan pengumuman terbaik yang pernah ada. Membantunya agar bisa berkuliah tanpa khawatir dengan finansial, memberikannya kesempatan untuk membahagiakan ayahnya.
Realita memang selalu mendorongnya dengan keras, tetapi kemudian menangkapnya dengan lembut melalui segala kejutannya.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Punya Realita
Short StorySeperti yang diiginkan semesta. Jika memang harapan ini harus gagal di tengah jalan, maka tak mengapa. Jika memang tak boleh bermimpi terlalu tinggi, maka tak masalah. Akan tetapi, biarkan pemimpi ini mewujudkan bunga tidur seindah-indahnya. Yang re...