★ Manusia-manusia yang Dirindukan Kemanusiaan ★

24 5 0
                                    

Ditulis oleh Sevina Dwi Alyani

Selepas hujan di pagi hari, di awal bulan Desember bau-bau petrikor menyeruak ke hidungku. Ada kalanya bau itu hilang, dan aku tidak bisa menikmati kenikmatannya lagi. Di jalan-jalan yang sudah ramai kembali, aku memberesi buku-buku di tas lalu turun langsung ke jalanan menjual buku yang telah aku baca minggu tempo lalu. Aku masih teringat adegan di buku itu dan pengetahuan yang aku catat dalam buku catatan ku.

Di tepi jalan, masih ada sisa-sisa air yang membasahi aspal. Rasanya dingin. Kumulai bergumul di tengah jalan di mana lalu lintas berwarna merah. Aku menjual buku-buku itu dengan susah payah.

Apakah orang-orang tidak mau membeli sumber ilmu ini? Apakah karena harga buku bajakan lebih murah hingga tidak mau membeli bukuku yang original? Aku mengacak rambutku yang dicepol dibalut bandana. Hingga lampu kembali hijau aku berlari ke tepi jalan.

Lautan masyarakat yang kembali melakukan kegiatan kutawari buku ini sembari bernarasi soal keunggulan dan kekurangannya. Satu pun dari mereka tidak tertarik. Hingga lampu kembali merah aku masih duduk di tepi jalan. Bergelut dengan putus asa rasanya tidak membuat gairah meningkat.

Mendadak saja ada seorang laki-laki keluar dari mobil berjalan ke arahku. Lelaki itu gagah, tampan, dan nampak begitu menawan. Dilihat dari cara jalannya, seperti model yang sulit digapai. Dasar aku, Amarilis yang suka menghalu.

Lelaki setinggi 183 cm itu sampai-sampai menatapku dengan sedikit condong ke bawah. Tetap saja, auranya menebar sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Jantung ini, organ pemompa darah ini bahkan tak sanggup berdiam diri saat sepasang manik mataku disuguhi ketampanannya. Demi apa rasanya aku ada di tengah-tengah bintang jika terlalu lama menerawangnya.

"Apa kamu jual buku?" Aku mengangguk antusias, berusaha meredam jantungku juga.

"Kamu mau buku fiksi atau nonfiksi?" Dia melihat buku-buku yang aku keluarkan satu persatu dari tas. "Judulnya Dunia Sophie. Ditulis oleh Jostein Gaarder. Kelebihan buku ini mengenalkan tentang filsafat yang menggunakan bahasa mudah dipahami dan menambah pengetahuan tentang filsafat.

Kekurangannya ada pada alurnya yang berbelit-belit dan mungkin kamu akan bosan. Mungkin kamu suka."

"Sungai, kolam, danau dan sungai, semuanya memiliki nama berbeda, tetapi semuanya itu mengandung air. Seperti halnya agama, semuanya mengandung kebenaran." Lelaki itu menghela napas. "Jika kamu bisa menebak ini quotes dari siapa, aku akan memborong semua bukumu."

Aku mengambangkan senyumku, "Muhammad Ali?"

"Itu juga namaku."

"Sungguh?" Suara beratnya begitu sopan masuk ke dalam gendang telingaku. Aku membungkus semua buku-buku itu

Selepas hal itu, ada uang di tanganku. Nominal yang tidak sedikit. Aku bersyukur, kenapa lelaki itu mau membeli semuanya? Bahkan dia terlihat sangat mapan dan mampu membeli toko buku juga.

Ah tidak, aku segera harus mengabari adik kecilku. Seorang perempuan yang kuat. Adikku memang tidak normal, dia tidak bisa jalan apalagi lari. Namun, setidaknya dia tidak lari dari hidupku. Tidak seperti ibuku yang meninggalkanku dan adikku.

"Hai cantik, bagaimana buku yang akan kujual? Pasti memuaskan. Aku juga akan segera pulang, tunggu aku ya!"

Aku mengirim voice note itu pada adikku yang disabilitas fisik. Aku memang penjual buku dan tukang fotokopi yang hanya lulusan SD. Tapi aku masih bisa mendapatkan ilmu dari buku yang akan aku jual. Aku telah mencatat banyak hal dari buku-buku jualanku, menariknya guruku bukan manusia, tapi himpunan kertas yang dijilid menjadi satu.

Semesta Punya RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang