Ditulis oleh Hany
Isak tangis di malam hari menggema di sudut ruangan, hamparan bintang terpatri pada langit yang gelap gulita, gulir hangat merembas mata, sejumput surat lusuh di genggaman tangannya hampir lapuk ulah sang gulir hangat yang menetes deras dan sesekali jatuh ke-arah letak surat di genggamnya.
Sunyinya malam menjadi saksi bisu dalam rasa sakit yang di rasakan olehnya, seorang gadis mungil dengan rambut sebahu yang sekarang tengah terkulai di atas lantai dengan menekuk kedua lututnya sambil memegang kertas lusuh di tangannya.
Sebut saja namanya adalah Agatha Abigahail Mahardika.
Memiliki ambisi yang tinggi bukanlah suatu kesalahan, yang menjadikannya salah ialah ketika terhanyut dengan ego hingga terjatuh akibat ambisi sendiri.
Pada malam itu, malam di mana aku meratapi sebuah kehidupan yang sangat dramatis, dorongan keluarga untuk menjadikanku layaknya sebuah manusia sempurna.
Namun, pada kenyataannya aku hanyalah manusia tanpa sayap dan tanpa daya bahkan upaya untuk menjadikan diriku selegit langit yang tinggi. Pukul 2 dini hari, aku membaca sebuah surat yang lusuh akibat aku terlalu kuat menggenggamnya hingga kertas itu tertampak beberapa guratan halus yang membendung di setiap sudutnya.
Ini adalah nilai ujian Matematikaku tadi pagi. Tak bisa aku pungkiri setelah tiga hari, tiga malam aku belajar. Namun, yang kudapati hanya angka 75 yang tertoreh di kertas yang sudah kusuguhi dengan begitu banyaknya perjuangan.
Apakah ini yang di namakan usaha yang mengkhianati hasil?
Dering ponsel berbunyi menandakan panggilan masuk di sana. Ku ambil handphone yang berada dinakas samping tempat tidurku dan saat ku lihat nama yang tertera. Ternyata dia adalah 'Raniya' sahabat karib-ku.
Mengapa Raniya meneleponku di saat-saat yang seperti ini?. Apakah dia tidak tidur?. Terlintas beberapa pertanyaan itu pada pikiranku.
"Hallo Tha?" sapa Raniya. "Iya Raniya?" tanyaku.
"Kamu belum tidur?" tanya Raniya di sebrang sana.
"Aku sudah tidur, tapi aku terbangun" jawab ku. "By the way minggu depan kita sudah mulai mengadakan ujian terakhir untuk penentu kelulusan, apakah kamu sekarang tengah belajar?" tanya Raniya.
"Netul, persis seperti apa yang kamu katakan tadi." Jawabku dengan tidak mengambili beberapa persoalan.
"Hm. Raniya nilai ujian uji coba matematika kamu berapa?" tanya-ku sedikit penasaran.
"Lumayan, hanya sembilan puluh lima saja." "What? Kau bilang itu lumayan?! Dengan nilai setinggi itu?!" ujar ku refleks meninggikan suara.
"M-emangnya kamu berapa?" Raniya kembali mempertanyakan soal nilai tersebut kepada-ku.
"Hanya tujuh." Jawab-ku singkat.
Setelahnya aku mulai mulai mematikan sambungan tersebut secara sepihak.
Entahlah. Aku sangat kecewa dengan semuanya. Terbesit dalam benak-ku rasa keputusasaan yang sangat membuncah pada diriku
Ketika keinginan dan ekpektasi tidak sesuai dengan realitanya. Ketika usaha mengkhianati hasil, Rasanya sangat kecewa, marah, dan kesal karena hal ini.
Tapi bagaimana aku bisa menyerah begitu saja, mengingat dorongan dari kedua orang tuaku membuat diriku merasa sedikit tertekan.
Tapi jujur saja aku juga sangat suka sebetulnya dengan belajar, meski beberapa kali aku harus terjatuh dengan spekulasi angan yang tak pasti.
Tapi tetap saja. Aku juga mempunyai impian seperti kebanyakan orang pada umumnya.
"Aku harus belajar, belajar, dan belajar, minggu depan sudah tidak ada toleransi lagi mengenai nilai. Dan ujian sekolah juga sudah dekat." Ucap-ku sambil terus memandangi deretan soal pada buku tebal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Punya Realita
Historia CortaSeperti yang diiginkan semesta. Jika memang harapan ini harus gagal di tengah jalan, maka tak mengapa. Jika memang tak boleh bermimpi terlalu tinggi, maka tak masalah. Akan tetapi, biarkan pemimpi ini mewujudkan bunga tidur seindah-indahnya. Yang re...