★ Mimpi Bukan Realita ★

33 3 0
                                    

Ditulis oleh Irsa A

Pukul 7 malam, jalanan kosong sepi. Sepertinya benar ini rumahnya. Rumah kecil, berdinding kayu. Aku juga tak paham bagaimana keluarga beranggotakan 7 orang bisa tinggal di dalamnya.

Tuktuk tuk!

Tidak ada jawaban. Aku mengetuk lagi

Tuk tuk tuk!

"Iya ada apa?" Seorang pria umur 20-an membalas ketukan pintu ku. Bajunya lusuh, bolong di bagian lengan kanan dan bawah pertunya. Celananya kotor dengan debu dan bekas lumpur. Rambutnya gondrong acak-acakan tak karuan, matanya terlihat lelah tampak lekukan gelap di bawahnya. Kumis yang tak terawat. Namun, aku mengenalinya. Ferza, teman baik masa kecilku.

"Ferza?" tanyaku

"Eh, Desta?" Muka terkejutnya sudah kuduga.

Badannya dengan cepat merangkulku erat, kangen.

"Gimana kabarmu, Desta? Udah lama ga ketemu."

"Des?"

"Dasar busuk, belum mandi," Ejekan ku membuat kami berdua tertawa lepas. Dari dalam rumah dia mengeluarkan dua kursi rotan, menaruhnya di depan jendela menghadap ke jalan depan rumah. Sama seperti dulu, kami dulu membahas apapun di sini. Kami bercerita, kami tertawa, dan tidak lupa di sini pula lah kami habis-habisan dimarahi Emak Ferza dengan rotan saktinya. Rahma, dulu aku melihatnya masih bayi berumur satu tahun. Sekarang lihatlah dia dengan gaun imutnya mengantarkan kopi dan roti sobek ke atas meja yang satu kakinya ditahan dengan gagang sapu yang patah.

"Baju mu kaya orang-orang di film favoritmu dulu ya. Udah sukses kamu sekarang," pujinya. Hanya ku balas dengan senyuman tipis, aku tidak enak. Tak perlu lama-lama, kami mulai membahas memori masa lalu. Baju basah kuyup berlarian menerjang hujan selepas pulang mengaji, gadis rupawan pindahan dari kota, lomba bercerita tingkat provinsi yang hancur lebur karena banjir bandang, dan banyak lainnya.

Sampai akhirnya, kami sampai juga ke topik itu.

Mimpi.

★★★

"Aku mau jadi Astronot!" suara lantang Ferza mungkin saja terdengar sampai kelas 6 di lantai 2. Pelajaran kami hari ini membahas cita-cita kita. Anakanak kelas 5 lainnya ada yang menjawab ingin menjadi dokter, ingin menjadi presiden. Ya ampun presiden, yang benar saja.

"Kau mau jadi apa?' Ferza menanyai ku. Aku hanya mengangkat pundak, aku sendiri belum tau. Seperti yang kuduga, dia mulai mengoceh tentang angkasa, bulan, bintang, dan betapa inginnya dia mendarat di Mars kelak. Boro-boro ke Mars, keluar pulau tempat tinggal kami saja belum pernah. Katanya matahari itu bintang, bulan hanya memantulkan cahaya matahari. Alangkah geramnya aku ingin membalas, "Kau lebih baik diam mengoceh, sebelum aku pantulkan buku IPA ini ke wajah kucelmu"

Tidak hanya di sekolah, di rumahnya saat main bersama. Ada saja waktunya dia berbicara tentang angkasa. Malam hari, selepas mengaji. Kami berbaring di teras beralas tikar memandang titik-titik kerlapkerlip di angkasa. Aku memuji indahnya pemandangan ciptaan Tuhan ini.

"Tau tidak, bintang-bintang yang kita lihat ini sudah mati," ujarnya. Aku bingung, bagaimana bisa? Dia menjelaskan cahaya dari bintang-bintang itu perlu waktu puluhan, ratusan, hingga ribuan tahun cahaya untuk sampai ke sini. Katanya, bintang-bintang yang kita lihat ini adalah pemandangan ribuan tahun bahkan jutaan tahun yang lalu dan bintang-bintang itu sekarang kemungkinan sudah mati. Aku hanya dapat terpukau dengan penjelasannya. Entah benar atau tidak, menakjubkan untuk dirinya mengetahui hal tersebut.

Kamarnya hanya berdinding kayu, beralas tikar. Namun kamarnya penuh dengan pernak-pernik galaksi. Poster besar bergambar astronot terpajang mewah di atas kasurnya. Majalah-majalah galaksi bertebaran di lantai. Hiasan bintang-bintang di langit kamarnya. Tak lupa ia memamerkan roket buatan miliknya. Badannya dari jagung busuk, pendorongnya dari tutup botol yang diikatkan dengan karet, lalu kaki-kakinya dibuat dengen menempelkan ranting-ranting kecil.

"Bagus kan?" tanyanya padaku. Lagi-lagi hanya bisa terpukau. Walau terbuat dari bahan yang biasa saja, kreatifitasnya sungguh hebat. Aku selalu kagum melihat temanku yang satu ini, hidupnya biasa-biasa saja namun semangat belajarnya luar biasa. Siapa lagi lawanku di kelas kalau bukan dia? Kami berdua selalu berebut peringkat satu.

"Yah, yang dapet nilai 96. Lihat punyaku 100." Aku balas ejekannya dengan menepuk pundaknya

"Aduh, sakit tau," ringisnya. Siapa dulu yang mulai?

Kami adalah pasangan belajar terhebat di sekolah. Tak ada yang bisa menaklukan juara peringkat satu dan dua kami. Kami berdua bahkan maju ke lomba cerdas cermat IPA tingkat provinsi yang sayangnya berhenti karena banjir bandang di kota lokasi lomba. Kejadian sedih, namun semangat belajar kami tak pernah putus. Peringkat satu dan dua selalu ditempati oleh kami. Semua murid SD hingga SMP kami pasti kenal dengan kami. Ferza dan Desta, sang jenius. Walau sebutan itu sangat menjijikkan di kupingku.

Kelas 8, aku ingat sekali. Saat kami berjalan pulang di malam hari sehabis menghabiskan waktu bereksperimen di lab sekolah.

"Bulan indah sekali, kapan aku bisa ke sana?" Aku ikut menatap ke atas. Purnama cerah, indah menerangi malam bumi.

"Aku tunggu kau nanti menaiki roket ke Mars yang disiarkan di seluruh saluran televisi," doaku. Ia hanya membalas dengan tawa kecil

Awalnya, aku pikir begitu. Ku pikir masa depannya juga cerah seperti rembulan malam itu. Awalnya, aku pikir begitu. Ku pikir memang benar aku akan menyaksikannya menaiki roket menuju Mars melalui televisi.

Tapi itu semua hanya awalnya. Akhirnya, semesta punya realitanya sendiri. Mimpi-mimpi hanya bisa dicipta, namun akhirnya semuanya mengikuti realita.

Tinggal beberapa langkah mencapai rumah Ferza, kami melihat kumpulan ramai di depan rumahnya. Dengan wajah bingung, ia menghampiri rumahnya. Di situlah ibunya mengucapkan kalimat, seperti kalimat dari semesta untuknya.

"Bapak sudah tiada, nak." Di situlah semesta akhirnya menjelaskan rencananya. Tanpa adanya sang tulang punggung keluarga, Ferza akhirnya menggantikan posisi ayahnya. Kelima adiknya harus punya pangan, harus punya sandang, harus punya papan. Ferzalah yang memenuhi semuanya. Besoknya aku tak menemuinya di sekolah. Iya benar, dia putus sekolah demi bekerja. Sebelum terbit mentari hingga setelah terbenamnya.

Bagaimana kabar mimpinya? Dia mengorbankan semuanya. Dia mengorbankan mimpinya untuk melangkahkan kakinya ke Mars. Dia mengorbankan mimpinya untuk menari-nari dengan bintang di angkasa. Dia mengorbankan mimpinya untuk mimpi adik-adiknya.

Sebelum aku pindah menuju SMA di luar kota, kalimat perpisahannya masih teringat di kepalaku.

"Desta, aku minta maaf tidak bisa menggapai mimpi bersamamu. Maka gapailah mimpimu untukku, ya?"

Aku tidak suka bagian di mana aku menangis, dasar cengeng.

★★★

"Kak Ferza, Kak Desta, liat gambarku," potong Rahma di tengah percakapan kami. Gambar tata surya dengan matahari sebesar bumi dengan Mars dan Venus yang terlalu dekat hampir berpelukan.

"Bagus, dek. Kakak suka," puji Ferza.

"Iya, bagus," timpal ku.

"Nanti aku mau ke situ, kak." Rahma menunjuk gambar Mars. "Aku mau jalan-jalan ke situ nanti."

"Iya, dek. Kakak doakan, kamu pasti bisa kok." Perkataan Ferza membentuk senyum manis di bibir Rahma. Rahma berlarian imut mengunjungi kakak-kakak lainnya, memamerkan gambar tata suryanya.

Aku bisa melihatnya, mata Ferza sudah berkaca-kaca. Rahma baru saja mengingatkan akan mimpinya. Kami memandang bulan dan bintang bersama. Kami memandang semesta.

"Aku tak bisa menginjakkan kakiku di Mars. Tapi aku bisa menari bersama bintang yang indah sekali. Bintang itu adalah keluarga dan teman-temanku. Senyumnya mengalahkan sinar rembulan di malam hari." Ferza tersenyum tipis. Dia korbankan mimpinya demi keluarganya dan dia tidak menyesalinya.

Semesta punya realita. Tidak semua mimpi bisa tercipta. Pada akhirnya kita hanya bisa menerima.

Menerima bahwa

Mimpi bukan realita

TAMAT

Semesta Punya RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang