★ Angan Tak Sampai ★

27 4 0
                                    

Ditulis oleh Kalinda Julyanti

Aku duduk dengan tenang di sofa berwarna navy yang ada di ruang keluarga sembari menikmati pisang goreng coklat keju buatan mama.

"Cla, kamu jadi ambil tawaran penerbit yang mau menerbitkan karya kamu di ... di mana, Nak? Mama lupa," tanya Mama yang kini duduk di sebelahku.

Aku tersenyum geli ketika mendengar mama masih sulit mengingat nama aplikasi itu. "Twitter, Ma," jawabku dengan sedikit kekehan.

"Okay, noted. Maklum agak susah nih disebutnya," jawab Mama.

Omong-omong, Mama memang seorang yang hebat, pandai berbahasa asing, terutama bahasa Inggris. Obrolan kami sehari-hari dengan ayah terkadang diselingi bahasa Inggris walau hanya satu kata.

"Aku masih pikir-pikir dulu, Ma. I feel don't deserve to it," jawabku atas pertanyaan awal Mama.

Mama tersenyum lalu mengusap rambutku dengan sayang. "Adek, kalau kamu selalu merasa enggak pantas, gimana caranya kamu gapai cita-cita kamu buat jadi penulis itu? Hayo, katanya pengin punya karya yang bisa dipeluk, yang best seller, dan terjual habis dalam hitungan jam bahkan menit pas pre-order."

Aku termenung sebentar setelah mendengar kata-kata dari mama, benar juga ... cita-citaku 'kan ingin sekali menjadi seorang penulis yang karyanya dibaca oleh khalayak ramai.

"Tapi wajar, kan, Ma, kalau aku merasa belum pantas? Secara kan ini tawaran pertama buat karya- karya yang aku buat di Twitter."

"Iya, Sayang, wajar kok. Pasti kamu kaget dan banyak yang langsung dipikirkan. Karena mungkin, awalnya kamu iseng-iseng aja buat cerita itu, kan?" Mama pengertian dan baik sekali.

"Gak apa-apa, dipikirkan dulu aja, ya," ujar Mama sebelum bangkit untuk kembali ke dapur.

★★★

Aku kembali ke kamar lalu duduk di kursi belajar dekat jendela, menatap laptopku yang aku letakkan di dekat buku pelajaran.

Aku masih memikirkan tawaran penerbit itu. Pikirku, banyak sekali yang harus dipertimbangkan. Sebenarnya, pikiran utamaku tertuju ke siapa yang akan membeli karya pertamaku ini? Apakah ada?

Memang, pembacaku sudah mencapai angka 120 ribu lebih, pengikutku di Twitter itu juga lumayan banyak. Belum lagi, karyaku yang lain yang masih berstatus on going ditunggu oleh para pembacaku. Namun, entah kenapa aku masih ragu.

Aku menghela napas seraya memencet tombol on untuk menyalakan laptop, lalu mengetikkan kata Twitter di pencarian Google agar aku bisa melihat satu tulisanku yang mendapat tawaran untuk diterbitkan.

"Ayo, gapapa, Cla. Revisi dulu aja, masalah terima tawarannya itu belakangan," ucapku dalam hati.

Setelah membaca sedikit bagian AU-ku di Twitter, aku langsung membuka halaman dokumen terakhir yang aku kerjakan, lalu jariku dengan lihai menari di atas keyboard hingga menghasilkan suara khas yang beradu antara keyboard dan jari-jemari.

Setengah jam sudah berlalu tanpa aku sadari, aku melihat jam yang terdapat di layar bagian kanan bawah, menampilkan pukul 16.37 WIB. Aku mengulet untuk meregangkan otot-otot tubuh, serta menggoyangkan jari-jari yang terasa pegal.

Tak lama, pintu kamar diketuk seseorang, lalu disusul suara seseorang. "Adek, Ayah boleh masuk?" tanya Ayah dari balik pintu.

"Boleh, Ayah. Masuk aja," jawabku.

Pintu dibuka, Ayah mendekatiku yang sekarang sedang menggulir halaman word, meneliti kembali tulisan yang sudah aku rombak.

"Wih, keren nih anak Ayah," ujar Ayah yang kini berdiri membungkuk memperhatikan layar laptopku.

Semesta Punya RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang