★ Garis Ekspresi ★

39 6 0
                                    

Ditulis oleh Mila Amelia

"Dasar anak autis." "Bisanya ngapain?" "Orang gila." "Bodoh."

Kalimat yang sering terlontar di setiap durasi hidupku. Banyak yang mencemooh kekuranganku sebagai anak 'spesial' di muka bumi. Dengan perilaku aneh yang sering aku tunjukkan, ucapan yang sulit untuk dimengerti, bahkan tempramen tinggi yang mengusik manusia lain.

Tak semua orang mudah memahamiku, butuh waktu yang lama bagiku untuk belajar berbicara dengan lancar. Aku juga sangat sensitif, mudah marah, menangis hingga berteriak. Ka aku sering mendapat diskriminasi dari lingkungan di sekitar, mulai dari sekolah hingga rumah. Untuk anak berkebutuhan khusus sepertiku, butuh kesabaran ekstra setiap harinya. Tak banyak juga orang yang tulus dan sabar untuk menanganiku, perasaan semacam itu hanya bisa kulihat dari sosok ibu. Ya ibu, beliau selalu mengajari banyak hal dengan sabar, walau itu membuatnya tertekan atau sedih, ia tetap melakukannya dengan sepenuh hati.

Anak autisme selalu punya bakat tersembunyi di dalam diri mereka. Entah itu mudah untuk dikenali, atau justru sulit untuk digali. Hal ini yang mungkin akan membuat hidupku berubah untuk pertama kalinya. Yang membuka mataku bahwa aku memang spesial.

Hal yang membuatku terpaku untuk pertama kalinya adalah ketika melihat sebuah lukisan di pinggir jalan. Netraku langsung melebar saat melihat bagaimana jemari pemuda itu menggores kanvas yang begitu polos dengan warna yang baru pertama kali kulihat, tak hanya merah, biru, atau kuning, tetapi ada banyak sekali. Goresan yang diciptakan begitu halus dan ekspresif, tak ada guratan kaku dan begitu menyentuh hati, seakan tanpa bicarapun, orang bisa memahami apa yang ingin disampaikan kanvas itu.

Seperti yang telah aku lihat, aku langsung mengambil barang apapun yang bisa kugunakan untuk melukis. Bahkan benda berwarna merah yang seringkali ibu pakai di bibirnya pun ikut aku ambil sebagai alat.

Hal pertama yang terpikirkan olehku adalah sebuah pohon dengan cabang yang berdaun indah, kugores krayon berwarna kecoklatan sebagai batangnya agar terlihat sekokoh mungkin, kemudian kutambahkan warna hijau dari krayon dan cat yang kutemukan. Dengan tambahan bunga berwarna merah disetiap kuncup pohon yang ada.

Sempurna.

Baru saja aku ingin bertepuk tangan, suara ibu mengurungkan hal itu.

"Lyra, kenapa temboknya kamu coret-coret begini. Nak?" tanya ibuku yang baru saja pulang membeli bahan makanan. Tampak gurat wajahnya menahan marah atas apa yang aku lakukan, ia mengambil semua alat yang kugunakan termasuk lipstik merah yang sudah hancur setengah. Melihat kosmetik kesayangannya tak bisa dipakai lagi, ibu hanya diam. Ya, Ibu marah besar.

Ibu selalu diam ketika marah, dan tak ada yang bisa kulakukan selain menunduk dengan perasaan takut. Tanpa mengucapkan sepatah katapun ibu membuang semua alat yang barusan aku gunakan, dan setengah berjongkok di depanku.

"Kenapa kamu coret-coret tembok, Lyra?" tanya ibu begitu lembut sambil menyampirkan anak rambutku yang menyembul dari balik telinga.

Tak ada yang bisa aku katakan untuk memberinya jawaban, aku ingin mengatakan sesuatu tetapi rasanya sulit untuk mengekspresikannya. Ibu tak memaksaku untuk menjawab, ia kembali berdiri dan memandang penuh apa yang kucoret di atas dinding putihnya yang kini tak lagi bersih.

Hingga suatu hari, tiba-tiba ibu datang membawa sepaket alat menggambar, dan selusin kertas hingga cat lengkap dengan kuasnya. Mataku seketika berbinar saat ia mengatakan ini semua untukku, dengan larangan agar aku tidak mencoret-coret tembok lagi. Tentu tanpa pikir panjang aku mengiyakan ucapan ibu.

Jika sebelumnya aku sulit fokus untuk melakukan sesuatu, kali ini aku benar-benar ternggelam dalam duniaku sendiri. Rasanya seperti sedang masuk ke dalam dimensi yang penuh dengan warna dan bentuk abstrak, tiap warna itu memiliki artinya masing-masing, yang terang penuh dengan semangat dan keceriaan, berkebalikan dengan si gelap yang terasa dingin dan menyedihkan.

Setiap warna tersebut kujatuhkan di atas kertas putih yang polos nan lugu. Memberinya goresan warna agar tak lagi merasa kosong. Memberikan warna solid dan bentuk yang rapi agar terlihat baik di mata siapapun, memberikannya sentuhan perfeksionis agar orang tahu betapa besar usahaku menggambarkan perasaan.

Melihat hasil lukisanku, ibu sadar aku sudah menemukan bakat terpendam itu. Dengan semangat ia memfoto lukisanku, bahkan mengunjungi sebuah studio seni agar mengizinkan lukisanku ikut dipamerkan.

Namun, kenyataannya itu tak mudah untuk digapai, media sosial lumayan sulit untuk ibuku pahami, pihak studio seni bahkan menolak lukisanku dengan alasan itu bukan hasil buatan pelukis asli. Tak ada yang bisa kulakukan saat ibu menjelaskan semua itu.

Rasanya jelas sedih. Belum lagi dengan cemooh orang-orang yang meremehkan hasil karyaku, mereka mengatakan itu hanya coretan tak jelas yang bahkan tak ada maknanya. Bagi mereka tak mungkin anak autisme sepertiku bisa menjadi pelukis, jangankan untuk jadi pelukis, berbicarapun aku masih terbata- bata.

Aku tak menggubris perkataan mereka. Yang aku lakukan hanya melukis setiap hari. Tak peduli kapan lukisanku akan dilirik dan dipahami oleh dunia, yang aku lakukan hanya menggoreskan perasaanku sebanyak mungkin. Baik marah, sedih ataupun senang semuanya kuhujani pada kanvas putih di kamar.

Hari hingga bulan berlalu dengan tak terasa. Aku yang tengah melukis pemandangan di sekitar, dikagetkan oleh ibu yang tiba-tiba datang memperlihatkan lukisan terakhirku yang menjadi topik hangat di dunia maya. Ibu membacakan tiap komentar dengan nada senang dan positif. Tentu saja itu membuatku semakin bersemangat untuk melukis.

Suatu hari, sebuah DM masuk ke akun instagramku. Pesan itu berasal dari sebuah komunitas yang sering memamerkan lukisan. Mereka menawarkan aku untuk memamerkan beberapa lukisanku dalam acara mereka. Tak hanya itu, pameran ini juga di dedikasikan untuk para anak 'istimewa' sepertiku yang juga memiliki bakat melukis. Tanpa pikir panjang, tawaran itu langsung diterima dengan cepat.

Aku kemudian mengirimkan beberapa scan lukisan terbaikku agar bisa dipilih oleh mereka. Kemudian, salah satu lukisan mereka pilih dengan pasti. Mereka memberitahu aku tanggal pameran itu dilaksanakan, tentu aku akan mempersiapkan semuanya dengan baik.

★★★

"Berikutnya adalah karya dari pelukis terbaik kami yang sudah melalui tahap seleksi. Yaitu Faith and feeling milik Lyra Arista Martawangsa."

Tanganku dengan lembut dituntun oleh ibu untuk duduk di salah satu kursi yang disediakan di atas panggung. Para penikmat seni yang hadir mencoba sebaik mungkin agar tidak menggangguku dengan suara gaduh atau tepukan tangan yang tiba-tiba. Mereka paham apa yang orang sepertiku butuhkan.

"Apa Lyra bisa menjelaskan kepada kami apa makna dari lukisan kamu?" tanya moderator dengan senyum manis yang ia hiaskan di bibir tipisnya.

Aku mengangguk singkat dan mulai mengedarkan pandanganku pada setiap audience yang tengah menanti dengan sabar. Jantungku berdegub kencang, rasanya gugup sekali untuk berbicara didepan orang sebanyak ini.

"Halo semua. Aku melukis ini untuk menggambarkan perasaanku. B-banyak yang aku rasakan selama ini, sedih dan senangku. Aku ingin menumpahkannya di lukisan ini, semoga ka-kalian bisa merasakan bagaimana takdir membawa perasaanku hingga saat ini."

Jawaban yang kuberikan nampaknya cukup membuat mengerti dengan meaning dari lukisanku. Setelah melakukan sesi talkshow singkat, sesi pameran pu dimulai, tak hanya itu pameran ini juga melelang lukisan kami, dan hasilnya akan diberikan seluruhnya untuk pelukis.

Rasanya seperti mimpi bagiku untuk bisa mendapatkan kesempatan seperti ini. Melihat orang bisa merasakan apa yang aku tunjukkan melalui lukisan, bahkan bisa mengenalku sebagai pelukis yang hebat. Ini semua membuka mataku bahwa masih ada orang lain yang mengerti kami sebagai anak 'istimewa'. Menunjukkan pada dunia bahwa bagaimanapun keadaannya, mimpi selalu bisa kita capai dengan berbagai cara.

TAMAT

Semesta Punya RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang