Ditulis oleh Isti'Anah
Pringgodani, 15 September 2000
Aku dan kamu menjadi penjahat cilik. Menjelma sebagai pencuri kelas kakap yang melegenda di desa Pringgodani. Lagi- lagi misi ini terlalu sepele untuk kita yang mahir bersembunyi. Bagaimana tidak arah langkah kaki warga selalu terkecoh dengan jebakan buatan kita. Sehabis itu dari balik semak-semak kita akan terkikik mesra, aku pun buru-buru menoleh ke belakang lantas menatapmu penuh arti lalu melengkungkan senyum kemenangan.
"Sahabatku adalah pencuri yang hebat!" ujarku penuh bangga namun diiringi rasa sesal. Telapak kakimu robek cukup parah akibat tunggak tebu sialan itu. Darah segar keluar cukup banyak sesekali kamu menekannya agar berhenti mengalir namun sia-sia. Ah, pasti rasanya perih dan ngilu.
"Bawa saja semua tebu ku! Kurasa tebu pilihanku jauh lebih manis dari punyamu!" seruku lagi sembari mengecek isi karung goni yang beralih fungsi sebagai tas.
"Ini milikmu! Aku tidak bisa menerimanya. Ibumu pasti akan memukuliku habis-habisan," kamu menolak pemberianku diselingi tawa seolah-olah kamu memang tidak membutuhkannya. Salahkah aku jika mengataimu kurang bersyukur?
"Aku masih punya gula di rumah. Bawalah sehabis ini aku akan mencuri singkong dan pisang milik Pak Kades. "
Kamu hanya diam terus menatapku setengah tidak percaya, matamu berubah tajam mengisyaratkan kekhawatiran.
Gila! Aku dan kamu memang sudah terlampaui gila demi perut terisi kenyang. Bagaimanapun pencuri tetaplah pencuri. Tapi tidak! Kamu selalu berkata padaku bahwa semua ini demi keluarga di rumah. Mau makan apa mereka nanti? Siapa yang mau mati kelaparan?
"Ada apa mengapa wajahmu tegang?" tanyaku menaikkan sebelah alis terus menerka arti mimik wajahmu yang membeku bak melihat setan jadi-jadian.
"DASAR BOCAH NAKAL!"
Sebuah pukulan keras tiba-tiba mendarat di punggung kecilku. Kamu yang posisinya terluka hanya diam tak berkutik enggan kabur lantaran tak tega jika melihat aku dihukum sendirian. Kemudian wajahmu memelas mencoba merayu si pembawa sapu ijuk senjata pamungkas emak-emak.
Ohh, tidak bagaimana bisa emak menyusulku kemarin? Padahal ini tempat persembunyian paling aman menurutku, di seberang sungai di belakang pohon keramat.
"CEPAT PULANGLAH!" teriakmu menggema di pendengaran.
Akting yang bagus sahabat!
Sebuah drama khas bocah pun dimulai hanya sekedar untuk menghindari puncak kemarahan emakku yang sudah mengangkat sapu tinggi-tinggi siap berperang dengan anak sendiri.
"Pulanglah nanti sore kita lanjutkan permainan seru ini!" bisikmu membuatku senang bukan kepalang.
"Bagaimana dengan kakimu?" tanyaku diselasela aksi ceramah emakku yang ikut panik memeriksa kakimu.
"Aku akan pulang lewat jembatan di desa sebelah,"
Bilang saja kamu tidak bisa berenang takut terbawa arus sungai mangkanya mengatakan pulang lewat jembatan di kampung sebelah.
"Tidak ada kata sakit untuk penjahat!" jelasmu selalu memperlihatkan sisi kuat padahal aku tahu kamu anak cengeng.
"Sepulang ngaji datanglah ke rumahku bersama adik-adikmu bapakku panen jagung kita akan makan enak."
Aku dana emakku beranjak berdiri tapi sengaja meninggalkan karung goni berisi tebu manis bersamamu. Aku yakin pasti kamu jauh lebih membutuhkannya sedangkan aku masih ada sejumput beras dan kabar baiknya bapakku panen jagung hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Punya Realita
Short StorySeperti yang diiginkan semesta. Jika memang harapan ini harus gagal di tengah jalan, maka tak mengapa. Jika memang tak boleh bermimpi terlalu tinggi, maka tak masalah. Akan tetapi, biarkan pemimpi ini mewujudkan bunga tidur seindah-indahnya. Yang re...