★ Pemulung-pemulung Mimpi ★

24 3 0
                                    

Ditulis oleh Sevina Dwi Alyani

Aku hanyalah seorang pria biasa yang setinggi 180 cm. Hidupku tidak istimewa, tidak pula seperti tokoh fiksi yang sempurna. Aku hanyalah pemulung-pemulung sampah di jalan raya. Di tepi aspalini, aku melihat hamparan kendaraan yang tengah berlalu lalang. Aku memungut botol dengan dalil agar bisa makan.

Syukurlah, sudah beberapa botol terkumpul di dalam karung. Aku kembali berjalan mencari-cari botol yang ada di Jakarta ini. Hendak menuju tempat sampah, ada seorang lelaki tampan yang melempar botolnya ke arahku. Direndahkan seperti ini sudah biasa. Kuharap jangan ada lagi orang-orang yang bertingkah seolah dia penjabat tinggi dan tidak punya perangai sopan santun.

Di hari yang terang ini, dijepit antara pagi dan sore hari. Iya, ini siang hari yang lumayan terik kulalui. Kumenepis keringat yang menggulir di dahi. Jejakan kakiku di jalanan berhenti. Hendak istirahat tidak ada salahnya, bukan?

Namaku adalah Harry. Kelahiran Jakarta asli, yang mengadu nasib di kota keji ini untuk menghidupi diriku sendiri. Di dekat lampu lalu lintas yang menyala, ada warna merah yang berarti menghentikan laju kendaraan. Mataku menyapu seolah pelancong yang terkesima akan pemandangan tempat wisata yang kutuju.

Sisi lain aku menangkap sebuah siluet indah yang Tuhan ciptakan. Seorang perempuan bermata cokelat yang disinari matahari, begitu menarik manik mata ini. Berkulit putih, rambut tergerai, dan bandana yang nampak melekat lucu di surainya. Perempuan asing itu melambai-lambaikan tangannya padaku.

Seolah aku teman karibnya. Ibarat pula, aku yang terpilih dipanggil di antara beberapa masyarakat yang melakukan aktivitasnya. Aku menghampirinya dengan malu-malu. Dengan melintasi jalanan kumenuju mobil hitam yang terjeda perjalanannya karena lampu merah.

"Untuk kamu. Semangat ya kerjanya!" Perempuan itu melonggok dari jendela mobil hitam yang mewah.

"Terima kasih, Nona!" Kata-kata singkat diberikan padaku yang lusuh ini. Ada makanan kotak yang sudah ada di tanganku. Nampak menggiurkan. Aku pun membawanya menuju tepi jalan seusai lampu hijau menanjadi pertanda menjalankan kendaraan mereka. Memakannya di sini seolah aku pengemis yang rakus, tapi bukan seorang penjabat yang rakus akan kekuasaan.

Apa kamu tahu yang istimewa dari ini? Aku tersenyum merasakan debaran dadaku yang kambuh. Tentu, perempuan spesial itu berulang-ulang melakukan hal sosial padaku. Bisa-bisanya pemulung yang miskin ini mengangumi perempuan berseragam SMA yang memberinya makan setiap hari.

Di hari di mana perempuan dermawan tepat memberikan nasi kotak yang ketujuh, aku menghampirinya dengan langkah yang mantap. Perempuan itu tersenyum memberikan nasi kotaknya lagi. Terlihat pucat. Mimiknya yang menawan seperti tersimpan gurat kebingungan.

"Terima kasih, Nona."

"Sama-sama."

"Apa Nona ada masalah?" Aku bertanya seolah akan menyelesaikan masalahnya. Padahal aku hanya menjadi beban baginya.

"Iya, aku mempunyai tugas puisi. Masalahnya aku tidak tahu bagaimana cara mengawali puisiku." Sunggingan senyumnya tipis dan itu menjawab kebingunganku tentangnya hari ini.

"Boleh kubantu, Nona?" Matanya nampak berbinar. Bola mata indah itu, memancarkan ceria yang begitu memuaskan hatiku. Akhirnya perempuan itu mengajakku ke taman dekat sini. Dinaungi pepohonan yang teduh, aku dan perempuan berhati mulia duduk di kursi taman.

"Kamu terbiasa diam, ya? Oh iya, namaku Cemara. Namamu siapa?" Pertanyaannya kujawab senyuman terlebih dahulu.

"Harry."

"Keren!" Dia menarik napas lalu menghembuskan. "Harry, puisinya tema impian. Kamu mau membuatkan untukku?"

Aku mengangguk. Itu gerakan dari sendi putar. Anak dara yang cantik dan begitu baik hati mengeluarkan sebuah buku pink. Aku sedikit kaget.

Semesta Punya RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang