3. Unfaedah

57 12 8
                                    


*****
Bagian tiga

Salma sedang duduk dengan antengnya di kursi kafe tempat dia melepaskan penatnya dengan menu yang ada di kafe ini, ice Americano dan blueberry cheesecake menu favorit Salma dengan di tambah satu mangkuk ice cream.

dan sekarang dia sedang menikmati satu mangkuk kecil ice cream dengan rasa buah strawberry. Salma bukan orang yang hanya suka dengan satu rasa saja untuk masalah makanan dari mulai ice cream, snack, ataupun makanan berat. Salma suka mencoba rasa baru untuk mulutnya, dia tidak bisa konsisten jika bersangkutan dengan rasa makanan.

Kecuali, tentang cake dan Americanonya lalu dengan hatinya juga, yang tidak seperti mulutnya yang suka dengan rasa baru sedangkan hatinya hanya stuck di satu rasa itu saja. Ah! Sudahlah, Salma tahu ini bukan berkaitan lagi dengan makanannya jika dia sudah berpikir dengan membawa perasaan hatinya, ternyata benar ya move on itu sulit.

"Nunggu lama mbak?" Tanya Awan pada Salma yang langsung duduk di hadapan Salma.

Salma menggelengkan kepalanya, sudah habis satu mangkuk ice cream dan sedang melahap lagi mangkuk ice creamnya lagi itu bisa di sebut belum lama untuk menunggu, bukan?

"Pesen dulu sana, santai aja" ujar Salma pada Awan.

"Aku kira mbak udah pesenin buat aku, menu kesukaanku masih tetap sama loh mbak" ujar Awan sedikit merajuk pada Salma.

Salma yang sedang asik memakan ice creamnya dengan menunuduk, mendongak dengan perlahan melihat wajah Awan yang cemberut karena dia tidak memesankan makanan untuknya.

"Gue kira menu yang lo suka udah berubah maklum,  'kan lo udah pergi dari sini cukup lama Awan" ujar Salma menatap wajah Awan, dan setelah itu dia memanggil salah satu pelayan di kafe itu.

"Satu ice cream full matcha, dan tiramisunya ya. Terima kasih" ucap Salma setelah pelayan yang di panggilnya menghampiri dia dan memesankan apa yang Awan mau.

"Udah?" Tanya Salma

Awan mengangguk, dia senang Salma tak melupakan menu kesukaannya jika sedang datang ke kafe ini.

"Jadi, selama ini lo pergi ke mana? Kuliah di Aussie itu bener?" Tanya Salma pada Awan yang sedang menyimpan kamera yang dia gantung di lehernya itu untuk di simpan di meja.

"Maaf mbak" ucap Awan

"Kenapa harus kata maaf yang lo keluarin duluan" ucap Salma sepenuhnya meninggalkan makanannya dan fokus kepada Awan. Mencari jawaban atas kehilangannya Awan dari hidup Salma.

"I know mbak, aku harus ucapin kata maaf dulu sebelum aku ceritain kenapa aku pergi ke Aussie tanpa pamit ke mbak dan membuat kita lost kontak sampai sekarang"

Awan menatap juga pada Salma dengan wajah seriusnya.

"Aku pergi mendapat tawaran beasiswa, itu mendadak sekali. Sebelum pergi mbak sadarakan intensitas bertemu kita jarang sekali, itu aku mengurus semua keperluan dan tetek bengeknya aku untuk pergi ke Aussie dengan jalur beasiswa itu. Kesempatan itu untuk mimpiku, yang nggak akan aku lewatkan. Dan ternyata, maaf aku lupain mbak saat itu aku berada di euforia kebahagiaanku mbak. I'am sorry" ujar Awan dengan nada penyesalan di akhir kalimatnya.

Salma memutuskan memalingkan wajahnya pada jendela yang menampilkan jalan raya yang penuh dengan kendaraan.

Jujur, hati Salma sakit saat mendengar Awan berkata seperti itu. Rasanya memang benar, Salma hanya sebatas teman bagi Awan tidak seperti Salma yang menyukai Awan pada pandangan pertama itu.

"Saat aku sampai di Aussie aku baru sadar, kenapa hati aku merasa ada yang mengganjal selama aku sibuk dengan kepindahanku itu. Ternyata karena aku yang lupain mbak gitu aja. Aku benci fakta ini sebenernya mbak. Aku mau cari kontak mbak di hp aku, ternyata semesta tidak berpihak hp aku hilang. Dan saat aku mendapatkan no hp mbak lagi beberapa hari aku sudah sampai di Aussie mbak ternyata nge blokir no hp aku, dan aku sejak saat itu membenci diri aku karena dengan bodohnya melupakan mbak, yang selalu support aku layaknya kakak aku"

Memang benar, saat itu Salma baru tahu kebenaran Awan pergi tanpa pamit padanya membuat Salma terkejut bukan main. Awan pergi tanpa pamit, tanpa salam perpisahan, tanpa tahu kepergiannya itu meninggalkan hati yang sakit dan perih untuk Salma.

Tanpa pikir panjang dan mementingkan egonya, Salma memblokir semua akses dia dengan Awan lewat berbagai hal apapun. Saat itu, dia pergi dari rumahnya dan pindah ke apartemennya hadiah ulang tahunnya dari abangnya.

Hampir satu tahun Salma membatasi pertemuannya dengan keluarga Awan, yang sialnya rumah kedua orang tua Awan ada tepat di samping rumahnya.

"Kenapa lo semenyesal itu nggak pamit sama gue, gue cuma teman doang buat lo" ujar Salma terdengar sarkas

"Mbak lebih sekedar dari teman buat aku, mbak udah aku anggap sebagai kakak aku" balas Awan mematahkan harapan Salma selama ini.

Salma menunduk mengaduk makanannya, perasaan yang dia pendam selama ini mungkin tidak ada artinya bagi Awan jika sekarang ataupun dulu Salma mengatakan kalau dia menyukai laki-laki itu lebih dari sekedar teman atau adik kakak.

"Kita pulang aja, jujur pembicaraan kita sebenernya nggak ada faedahnya kalau di pikir-pikir" Salma terkekeh dengan hati yang sedikit sakit "gue udah tahu alasan lo pergi dari mama lo, gue tahu juga lo se khawatir itu sama gue karena lo lupa pamit sama gue. Dan sorry buat lost kontak kita, anggap aja gue marah karena adek gue nggak inget sama gue sama sekali" lanjut Salma sambil tersenyum.

"Kita pulang" ajak Salma lalu menyantolkan tas slemapngnya menunggu laki-laki yang di depannya untuk bergerak merapihkan barang-barangnya.

Awan terdiam sebentar sebelum menghela nafasnya, lalu membereskan barangnya. Dia berdiri, lalu menyusul Salma yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya.

"Kita naik taxi aja ya, aku nggak bawa mobil. Nggak papa?" Tanya Awan pada Salma saat langkahnya sudah sejajar dengan Salma.

Salma menganggukkan kepalanya, menunggu lagi untuk Awan yang sedang mencari taxi. Jika boleh jujur, Salma ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu menggulung dirinya sendiri dengan selimut tebalnya dan mungkin akan di iringi dengan tetesan air matanya.

"Yuk mbak" tarik Awan pada lengannya Salma dengan lembut untuk masuk ke dalam taxi.

Mereka berdua duduk di kursi penumpang dengan hening tanpa pembicaraan, Awan bingung dengan perubahan sifat Mbak Sal-nya.

Awan menatap ke arah di mana Salma terlihat memejamkan matanya dan kepala yang bersandar pada jendela taxi itu. Awan kembali menghela nafasnya, dalam hatinya berteriak dengan kesal merutuki semua yang sudah terjadi dalam hidupnya setelah dia meninggalkan Mbak Sal tersayangnya.

*********

Hi, Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang