Rumahku jauh, emang kamu mau ngasih tebengan? -Mika
Terdampar di tengah lautan manusia yang tidak dikenal pasti, benar-benar merupakan sebuah situasi yang tidak menyenangkan. Jangankan untuk turut serta mengangkat tangan atau menggelengkan kepala menikmati alunan musik, untuk bernapas dan menelan saliva saja rasanya canggung. Bagaimana bisa Mika tadi meng-iya-kan ajakan Resti, teman kelasnya sejak semester 1, untuk datang ke acara live music di FIB dan malah berakhir terdampar sendirian tanpa keberadaan gadis Semarang yang menyeretnya kemari?
Ponselnya berdering, tapi deringnya tidak dapat ia dengar. Getarannya yang membuat Mika menyadari ada panggilan yang masuk. Ia segera menempelkan benda persegi itu di telinga. "Halo Ekal?"
"Kamu masih di FIB?"
"Iya." Mika tidak dapat mendengar suara Haikal dengan jelas, untuk itu ia menyingkir mencari ruang terbuka dan agak sepi di pojok lorong. "Kamu masih di sana ya?" Tadi dengan pertimbangan penuh bahwa ia tidak akan sendirian karena Haikal yang berjanji akan turut menikmati acara live music ini, Mika memilih untuk tidak jadi pulang. Tapi lelaki itu sampai sekarang masih berada di rumah salah seorang senior mereka di Banguntapan untuk berguru. Mika tidak mungkin menyuruh Haikal buru-buru datang menemaninya di saat lelaki itu tengah serius dengan TA nya.
"Iya. Sorry banget ini Mas Broto tadi nganterin adeknya dulu periksa soalnya kepleset jadi aku masih di rumahnya sekarang."
Mika mengangguk paham. "Kalo gitu kamu langsung pulang aja nanti, Kal. Capek kamu."
"Kan aku janji mau nemenin kamu?" Terdengar Haikal menghela napas di ujung sana. Mika tersenyum, temannya ini sungguh setia kawan.
"Aku mau pulang sekarang kayaknya. Resti ilang, terus aku nggak kenal siapa-siapa ehehe. Mumpung masih jam segini biar dapet ojek." Ia memutar pergelangan tangannya agar jamnya dapat terlihat. Pukul 20.07, pasti masih banyak ojek yang akan menerima permintaannya.
"Besok aku ganti nonton Prambanan Jazz Festival." Pasti Haikal sedang merasa bersalah saat ini karena tidak bisa menepati janjinya.
Tapi Mika justru tertawa geli. Kan bukan kewajiban Haikal untuk selalu ada di sisinya. Mika benar-benar berterima kasih dan bersyukur Haikal menjadi sahabat, kakak, adik, dan pelindungnya. Tapi Haikal juga harus menjalani kehidupannya sendiri. Mika tidak ingin menjadi beban untuknya. "Ya ampun Kal nggak usah dipikirin ah. Kalo TA kamu cepet kelar kan aku juga seneng. Besok aku yang traktir nonton. Kamu semangat bergurunya. Ati-ati pulangnya, terus kabarin kalo udah sampe." Ceramahnya pada Haikal yang tampak masih ingin menahannya di telepon.
"Telepon kalo ada apa-apa. Telepon kalo nggak dapet ojek."
"Iya Ekal iyaa~ Udah ya. Dadahh." Lalu gadis itu segera menutup panggilan teleponnya. Sebelum pulang ia mengecek terlebih dahulu isi tasnya. Apakah ada barang yang tertinggal atau tidak.
Botol Tupperware!
Pasti masih di atas meja tempat ia duduk tadi. Semoga tidak hilang. Bisa bahaya kalau Bundanya tahu Mika pulang tanpa benda keramat itu. "Oh!" Jarinya otomatis terangkat melihat dua manusia dewasa yang duduk di tempatnya dan Resti tadi."Weh. Haikal mana, Mik? Tumben lo nongkrong-nongkrong sendirian?" Edwin juga kaget melihat wajah Mika di tengah kerumunan makhluk eksis di kampus. Mengingat sekarang mereka tidak berada di perpustakaan dan bukan di area FT, wajah Mika menjadi lebih mengagetkan untuk disambut.
Teringat percakapannya yang menyemangati Haikal agar segera menyelesaikan TA, tidak bisa membuat Mika tersenyum kecut. Ia harus pasang senyum cerahnya. "Haikal ngerjain TA. Aku keseret Resti tadi, tapi anaknya nggak tahu kemana." Dia lantas menunjuk botol hijaunya yang masih tergeletak tenang di sana. "Aku mau ambil botol, ketinggalan ehehe."
Dahi Edwin mengeryit. "Udah mau balik?" Mika mengangguk. Semakin membuat kernyitan di dahinya mendalam. Acara bahkan belum sampai ke puncaknya dan gadis itu sudah berbenah hendak pulang. "Besok kan weekend, Mik?"
"Takut nggak dapet ojek nanti." Gadis itu memperjelas alasannya pulang. Terserah ia akan mendapat label cupu atau ansos nantinya. Faktanya memang ia akan kesulitan pulang saat malam semakin matang karena rumahnya yang berada di ujung dan ketidakmampuannya membawa kendaraan.
Yang membuat Mika kaget adalah Jeffrey menggeser posisi duduknya hingga kini ada sisa tempat untuk seorang duduk di sana. Baru ingin menahan hati agar tidak berlonjak kegirangan karena bisa saja itu bukan tempat untuknya melainkan Jeffrey yang tidak ingin duduk dekat dengannya berdiri, perkataan Jeffrey malah membuat napasnya hampir tercekat. "Duduk aja dulu. Bintang tamunya belum tampil."
Telinga Mika belum pernah dinyatakan bermasalah oleh diagnosa dokter. Tapi barusan rasanya ia seperti salah dengar. Atau ini hanya ilusi karena keinginan kuatnya dan deburan musik yang ramai di telinga?
Dengan berani Mika menggeleng. Ia menolak pendengarannya dan perasaan percaya dirinya tadi. Jeffrey memang baik dengannya belakangan ini. Tapi apa ia boleh menggantungkan harapan begini tinggi?
Edwin seperti mengerti. Jadi ia memilih untuk tutup mulut dan tidak ikut campur. Ia juga sedikit bergeser karena posisi kosong di sebelah Jeffrey cukup kecil untuk ditempati. Gadis itu bisa keram di kaki saat sibuk menahan posisi duduknya atau kasus yang lebih parah adalah jatuh terjerembap saat kakinya menjadi kebas nanti ketika ia berdiri.
Jeffrey juga semakin bergeser. Menyisakan lebih banyak tempat untuk Mika duduk. Haruskah ia duduk di sana sekarang? Menyambut uluran tangan berupa kesempatan yang nampak sehalus satin dari semesta.
"Rumahku jauh, emang kamu mau ngasih tebengan?"
Jeffrey menepuk paha Edwin. "Gue pinjem helm entar."
Edwin memberi acungan jempol. "Bawa aja. Balikin di kamar yak."
Lalu Jeffrey memandang Mika yang masih berdiri memegang botol Tupperwarenya dengan kedua tangan. Ia menepuk space kosong di sebelahnya dua kali, mempersilahkan gadis itu untuk duduk. Demi buku catatannya yang selalu rapih. Mika saat ini tidak dapat berfokus pada pemusik yang terus saja menyanyi di depan sana. Telinganya seperti tertutup rapat untuk dunia luar dan hanya dapat mendengar degup jantungnya sendiri. Tangannya beralih menyentuh dadanya. Debaran di sana terasa nyata. Jantungnya memacu dengan cepat dan mantab. Memberi sinyal keterkejutan dan perasaan berbunga pada otaknya hingga membuat Mika menoleh dan menatap wajah Jeffrey lama.
Lelaki itu sadar dirinya sedang di pandangi. Untuk itu ia menoleh, matanya bertemu tatap dengan mata Mika. Ia mendorong wajah Mika dengan ujung jari telunjuknya pelan."Panggungnya di sana." Katanya setelah gadis itu mengerjapkan matanya cepat beberapa kali. Kekehan kecil keluar tanpa sadar.
Sedang Mika masih berada dalam ruang dan waktunya sendiri. Ia bahkan melupakan niatnya untuk segera pulang tadi begitu melihat Jeffrey menepuk kursi untuknya. Semesta, Mika berharap dia benar-benar boleh menikmati saat ini.
aaaaaaa!!!!
Udah sampe R hihihiiSee ya~
-jo!
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFABET | Jung Jaehyun [✔️]
FanfictionABCDEFU and your mo- ehehe bercanda. Dari A-Z, alfabet favorit kamu apa? Project NCT Lokal Start: 19 January 2022 End: 3 March 2022 Johnthenaa Most Impressive Ranking [03/03/2022] 1# - nctlokal