27. Ruang Hampa

101 45 40
                                    

DUBRAK!

Bersyukur dia tak mempercayai keberadaan hantu sejak awal, hal berbahaya lain paling ditakutkannya sekarang adalah manusia. Manusia itu cerdik dalam segala hal, bahkan mereka yang dijuluki sebagai psikopat gila pun punya banyak akal dalam memanfaatkan mangsanya, dan mengelabui pemburunya.

Tangannya menangkis cepat cahaya dari jendela menyilaukan penglihatan membuatnya terpejam sebentar, terbatuk-batuk saat butiran debu yang datang entah dari mana menyesakkan dada.

Ia terbelalak kaget melihat seisi dalam ruangan yang sempat membuatnya ketakutan sekaligus penasaran, sebab hal ini benar-benar di luar dugaan, bukan binatang buas, tikus, psikopat, ataupun hantu.

Padahal di otaknya baru saja terpikirkan sosok Nachandra yang-mungkin saja sedang iseng menjahilinya jika dugaannya benar, namun ternyata dia salah.

Melainkan mendapati seorang pria paruh baya sedang terduduk pasrah sambil memegangi perutnya, dengan kedua kaki dipasung membatasi pergerakannya kemudian dikelilingi oleh kerangkeng besi.

Keadaan dalam ruangan tersebut benar-benar kacau, bau busuk langsung menyeruak masuk ke lubang hidung dari arah lain, sisa makanan yang berusaha digapai bahkan sudah tercium tak sedap.

Gadis itu menutup mulutnya cepat mendadak membisu, refleks melangkah mundur selangkah memperhatikan setiap pergerakannya dari sini. Keadaannya sangat memprihatinkan, sekali dia menyeringai bak akan menerkam siapapun yang mencoba mendekat.

Sulit dipercaya, namun tiba-tiba ingatannya berkerja dengan baik seperti menemukan jarum pada tumpukan jerami, berhasil menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan-pertanyaan mengusik di kepala.

Perlahan menurunkan kedua tangannya lemah setelah menyadari siapa kah sebenarnya sosok pria misterius di depan sana.

"Nachandra ... " ringisnya pelan.

Lengannya menyenggol sesuatu.

Ternyata seseorang yang dipanggilnya sungguhan berdiri di belakang si gadis, kini dia menatap lurus pada figur di depannya tatapan mata berubah sendu bersamaan saat kedua manik mengkilapnya mulai mengeluarkan cairan bening.

"Apa sih yang ada dipikiran Mama?"

Percakapan antara seorang anak dan seorang ibu dimulai dengan keadaan tenang, meskipun begitu lontaran ucapan bocah SMA barusan terlalu menusuk ke hati, tentu di sini ia mengerti bahwa dia telah melakukan kesalahan fatal dalam memainkan peran.

Terduduk berhadapan-hadadapan dengan si anak yang tengah memainkan jari-jarinya sambil tertunduk lemas menatap langit-langit. Seseorang memperhatikan matanya memerah sejak lama.

Sedangkan wanita di depannya terdiam seribu bahasa, berdecak pelan sembari menaruh kacamata di atas meja demi melanjutkan arah pembicaraan ke arah lebih intens. Walaupun dia pun tak yakin bisa menjawab seluruh pertanyaan nanti.

Berniat menjelaskan sesuatu namun saat tangan wanita itu ingin meraih sebelah tangan anaknya langsung ditepis kasar. Mendadak keheningan kembali menyapa seolah menggali luka lama kembali melalui tatapan mata.

Naraya sengaja mengalihkan pandangannya cepat berpura-pura sibuk menatap lantai polos di bawah sana, tetapi telinganya masih dipergunakan sebaik mungkin guna menyimak dan mencermati ke mana arah topik pembicaraan mereka.

"Nachandra ... Mama capek, Nak. Mama capek ngurus Papamu yang tak juga kunjung sembuh! Ingat saat dia ditinggalkan selingkuhannya dan kembali tinggal bersama kita?" tanyanya bersusah payah menenangkan diri.

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang