42. Luka dan Deritanya

101 25 38
                                    

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat menghadapkan pada kenyataan mereka akan melaksanakan serangkaian ujian seperti Ujian Nasional di mana hari ini murid-murid kelas dua belas SMA Antariksa mulai menyibukkan diri mempersiapkan fisik maupun menta...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat menghadapkan pada kenyataan mereka akan melaksanakan serangkaian ujian seperti Ujian Nasional di mana hari ini murid-murid kelas dua belas SMA Antariksa mulai menyibukkan diri mempersiapkan fisik maupun mental untuk melewati masa menegangkan dalam akhir sejarah pendidikan.

Setidaknya masih ada hari-hari liburan menyenangkan menanti mereka di depan sana sebelum memikirkan langkah selanjutnya, harus bagaimana, harus jadi apa.

Mereka yang dikenal pintar tak jarang akan membawa buku pelajaran kapanpun dan di manapun juga. Sontak nemicu tatapan tak enak dari orang-orang yang menganggap mereka hanya sekadar cari muka di depan para guru.

Toh, kalau pun seandainya nanti nilainya tidak cukup baik untuk menjadi bahan kebanggaan orang tua. Rasanya Nachandra tidak ambil pusing yang terpenting nilainya ini cukup sekedar sebagai kebanggaan diri sendiri. Bukankah mengapresiasi diri itu lebih penting?

"Bingung gue bakal nyontek ke siapa ntar anjir," dengus Jingga mengibas-ngibaskan buku catatan tampak gusar menampilkan ekspresi melas.

"Jangankan lo asu gue aja bingung," balas Jonathan sengaja melirik ke arah Nachandra yang masih sibuk berkutat memahami materi yang akan dihadapi hari ini. Kisi-kisi, itu kuncinya. Nachandra bukannya paham seluruh susunan materi pelajaran tahun ini karena akhir-akhir ini lebih sering berdiam diri dibandingkan belajar.

Marnia dapat dipastikan akan mengamuk murka bila tau anak kebanggaannya ini sedikit kehilangan minat belajar.

Begitu tersadar tengah diperhatikan sebegitu intens oleh teman-temanya Nachandra memutarkan bola mata malas terlanjur peka membaca isi otak mereka ia hanya malas menanggapi saja sebenarnya.

"Masa iye sih lo kaga kasian sama gue, Chan," rujuk Raden menyentuh bahunya.

"Masalahnya urutan kursi sesuai absen anjir! Iya, gapapa kalau lo mau dateng ke kursi gue buat minta jawaban, pake alat penghilang dulu tapi," geramnya. Baru tau ternyata begini rasanya punya teman sefrekuensi kelakuan tapi tidak sefrekuensi isi otak. Haha.

"Anjir udah gila, bisa bisa gue langsung disate di tempat sama, Bu Mega," komentar Jonathan mulai membayangkan langsung bergidik ngeri.

"Enggak dulu, gue masih mau sok jadi murid teladan gitchu deh," sanggah Raden mulai membanggakan image lainnya di depan para guru.

"Eh, asu. Terus gue gimana!?" protes Jingga yang notabene-nya anak paling malas kalau sudah urusan disuruh mikir apalagi belajar sampai botak juga mana masuk.

"KERJA SENDIRI!" Sontak anak-anak laki-laki itu berteriak serempak tepat di kuping Jingga.

Melupakan kejadian tadi. Pandangannya jatuh pada ruang sepuluh dan sebelas sepi senyap nampak seperti bangunan antah-berantah. Tentu mereka libur lebih dulu Nachandra menatap nanar pada pintu ruangan kelas Yura dan Naraya mulai merasa rindu padahal baru beberapa jam lalu bertemu.

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang