Mereka yang ingin mengakhiri hidup sebagian besar adalah orang yang tidak benar-benar sedang ingin mati. Ada sesuatu yang ingin dihentikan, hanya ingin deritanya segera disudahi. Ingin sesekali merasakan bahagia layaknya orang biasa yang menikmati kehidupan mereka di luar sana.
Menyambut keesokan harinya seolah waktu berjalan lebih cepat. Mentari kembali menyapa menampakkan sinarnya dari jendela kamar menyilaukan pandangan pertanda hari berganti. Mengusap wajahnya kasar di dalam bilik ruang gelap minim pencahayaan, sebab akan lebih baik begini.
Tanpa sekolah, tanpa harus bertemu dengan orang-orang yang ingin dimengerti, tetapi tak ingin memahami yang lain. Semua orang egois, termasuk dirinya sendiri. Bukankah begitu? Salahkah seseorang menginginkan kebahagiaannya sendiri? Menyalahkan takdir tentang mengapa dirinya bisa terlahir.
Naraya meremat selimut yang menutupi setengah badan seketika merasakan kenyamanan, tanpa memikirkan apa-apa, baru kali ini. Bersyukur Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk berjuang kembali menata jalan hidup kusut tak berujung.
Jika kemarin dia sungguhan mati maka ia percaya kehidupan di bumi akan lenyap. Tak ada mereka yang menemaninya mengobati luka di kala terluka, seolah kekosongan yang mengisi ruang hati pun dapat mati yang tersisa hanya sepi.
Mungkin tempat tidur, angin malam, nasi goreng kesukaannya, pemandangan langit kelabu kala hujan, pemandangan laut serta alunan musik favorit menjadi alasan untuk bertahan hidup. Ia sadar ada hal kecil yang begitu bermakna baginya mungkin saja tak akan ditemukan setelah mati.
"Andai mereka tau kebanyakan orang bertahan hidup hanya karena tau bunuh diri itu dosa," monolognya sembari membangkitkan badan berdiri menghadap meja rias.
Netranya menatap jeli ke dalam laci sembari meraba-raba mencari benda keterbegantungannya, saat ini dia baru tersadar obat-obatan miliknya telah menghilang dari tempat biasa.
Ia menghela napas lelah kemudian melangkahkan kaki hendak merebahkan tubuhnya kembali terpejam sebentar tanpa memedulikan notifikasi yang membanjiri ponselnya lalu memposisikan badan ke samping.
-------
~Jinna~
Naraya, gue selalu ada buat lo, inget ya?
~Nachandra.~
Hidup gak harus berakhir di sini, Ra
Tuhan masih mau ngeliat lo bahagia
Dan gue juga.
~Haidan~
Naraya, gue benar-benar minta maaf.
~𝕐𝕒𝕞𝕖𝕥 𝕂𝕦𝕕𝕒𝕤𝕚~
Haidan
@Nachandra tamvan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]
Roman pour AdolescentsSejalan, tak searah. Nachandra Renjana dan Naraya Hysteria adalah dua remaja yang terbelenggu dalam trauma masa lalu. Tentang kehilangan orang-orang terdekat, kekerasan sejak dini, pemulihan diri dari masalah kesehatan mental, sisi kejam dunia pada...