31. Belenggu

101 40 30
                                    

"Mereka bilang syukurilah saja, padahal rela tak semudah kata kan, Ra?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mereka bilang syukurilah saja, padahal rela tak semudah kata kan, Ra?"

"Kenapa dunia mainnya melukai perasaan manusia? Haha."

**𝘾𝙃𝘼𝙉𝘼𝙍𝘼**

Haidan mengelap keringat yang mengucur di bagian leher ia baru saja memarkirkan motornya di sebuah gang berukuran sempit, karena rumah sederhananya terletak di sekitar gang tersebut, berjalan pelan menggandeng tangan mungil seseorang sekilas melirik pada gadis yang terus mengekorinya dari belakang.

Seulas senyuman terpatri di bibirnya meski tak semanis milik matahari gadis itu tetap bersyukur karena laki-laki ini masih bisa menerima kehadirannya bahkan memperlakukannya dengan baik. Tak lupa secara tak tanggung-tanggung ia mematahkan hatinya.

"Rumah kamu di mana, Dan?"

Naraya memberanikan diri untuk bertanya saat keadaan tenang dan nyaman walaupun menurutnya sedikit terkesan mengintimidasi ia mencoba menyapa Haidan yang terus berjalan tanpa merasa terganggu.

"Ada, di ujung sana," jawabannya datar.

Cukup lama mereka jalan kaki menuju tempat tujuan, tetapi tak apa karena Naraya sendiri menikmatinya begini, tanpa perlu banyak bicara pula, ekor matanya melirik seekor anjing di ujung jalan kelamaan mengamatinya, jadi mengingatkannya pada seseorang.

"Ayo masuk, Nay. " Suara berat Haidan menyadarkannya lantas langsung mengalihkan pandangan menatap pada sebuah bangunan berbilik kayu.

Jujur saja sebenarnya Naraya agak terkejut.

Bukan apa-apa. Hanya saja dia tak percaya mantan pacarnya ini menghuni sebuah rumah yang hampir tak layak tinggal.

Pertama kali menapakkan kaki bungkus makanan berserakan di mana-mana gadis itu langsung mengerti bahwa salah satu dari anggota keluarga telah lama meninggalkan mereka.

Tentu bukan sekedar berspekulasi ia telah mengetahuinya dari temannya Adinar.

Sebab dirinya pun pernah berada diposisi yang sama. Kepergian selamanya lantas menyadarkan mereka bertapa penting peran ibu dalam sebuah keluarga.

Di sudut ruangan terdapat sebuah tungku api tradisional, serta beberapa jumlah lilin di berbagai sisi dinding sebagai penerangan ketika tiba waktu matahari tenggelam nanti.

Hal ini mengingatkan kembali pada kehidupan lama sebelum keluarganya bertemu dengan orang tua Nachandra dan akhirnya saling berkerja sama agar kedua pihak kepala keluarga itu bisa sama-sama menguntungkan, lebih mudah mencari pinjaman dana, dan mendapatkan peluang kerja.

Saat di mana keluarga almarhum Ayah meminta pinjaman uang ke sana kemari ke beberapa kerabat dekat, berakhir menyedihkan direndahkan hingga mendapatkan caci-makian.

Dulu Alta dan Dirman memang dikenal begitu dekat, mereka tak segan saling membantu satu sama lain jika satu di antara mereka sedang mengalami kesulitan maka salah satu di antaranya harus menjadi penolong.

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang