Oh simple thing, where have you gone?
I'm getting old and I need something to rely on ~ Keane.**CHANARA**
Sederhananya, ia rindu. Sesederhana mendambakan momen masa kecil kembali yang bahkan tak akan pernah bisa diulangi lagi. Naraya membutuhkan sandaran, tempat biasa ia mengadu adalah rumahnya yang sudah lama hancur.
Orang-orang mulai melabeli abnormal. Satu-satunya harapan adalah percaya bahwasanya Tuhan masih ada bersamanya, di sekitarnya. Tiang kakinya seharusnya lebih dulu roboh kala badainya enggan berhenti menerjang dan suara-suara itu kembali terngiang-ngiang membisikan secara nyata.
Katanya, hentikan. Mending bicara pada rumput bergoyang atau batu karang. Komplain tidak didengarkan melainkan selalu diabaikan. Bukan lagi ditelan bumi, hilangnya ditelan masa.
Melalang buana belum tuntas menggapai penyintas. Kota penuh manusia-manusia ini malah serasa hitam pekat dan kelam. Melayang ke sana-kemari tanpa tujuan yang jelas. Kristal transparan menggenangi tiap pijakan tak serta-merta menghayutkan seonggok puing-puing kepercayaan dirinya terhadap langit tak berbintang. Namun juga melabuhkan pena di atas kertas penuh coretan tinta derita, meretakkan keras tulang punggung.
Sekian purnama meraba-raba. Terdeteksi, tiada jalan pulang tempat mengadu. Kepalanya terhempas sana-sini sekuat tenaga tetap berdiri, jalan tergopoh-gopoh sembari menahan fokus.
Jangan salah paham, sebenarnya kali ini sungguhan tidak ingin mati. Hujan melanda mengembalikan trauma lama tiap dia turun pikiran pun seakan-akan meronta-ronta menyalahkan seluruh seisi dunia kala itu.
Serasa gila sebab tak sadar menangis sewaktu-waktu acap kali, dengan bibir pucat pasi bosan melakukan aktivasi bahkan kehilangan minat peduli di segala kondisi. Satu hal perlu diketahui, orang rumah tak menyadari kepergiannya.
Dingin sekali. Memilih pasrah begini kadang justru semuanya bisa-bisa membunuh perlahan diam-diam. Menusuk ke dalam hingga ruas tulang rusuk pun patah dari belakang.
"Naraya." Tinggal beku. Sebelumnya saraf otaknya aneh sulit merespon segalanya. Bungkamnya bukan sekedar di bibir, kata hatinya tak biasanya sehampa ini seusai pertempuran digilas masa.
"Ayo pergi."
Sebelumnya otaknya aneh mulai sulit mencerna segalanya. Sorotan lampu kendaraan itu melintas cepat. Sangat cepat. Lebih cepat ketimbang badai peluru yang suka menerjang seenaknya manakala muncul di waktu-waktu tertentu.
"Ayo, pergi ke sana."
Jalanan pun bisu, gemelutuk bebatuan menusuk-nusuk ke punggung jadi saksi sejarah kepunahan harapan. Cairan kental itu mendarat cepat lantas berserakan seakan memamerkan wujud nyatanya kepada sang empu.
Lagi-lagi suara bisikan menyertai tiap langkahnya seakan tergelak meremehkan usahanya. Mirip seperti lagu lama favoritnya, enak didengar tapi juga menyakitkan untuk terus dikenang.
"Pergi. Jauh. Ada di sana, sedikit lagi."
Bukan sekali dua kali, Bisikan-bisikan mengusik kepala. Seharusnya berterima kasih sebab keinginan sejak lama terpenuhi. Mati, sejujurnya belum siap menelan pahit kenyataan, rodanya berputar akan sesingkat ini. Selain itu, belum sekalipun membayangkan bagaimana rasanya... Akan benar-benar sesakit ini.
"KAK!!"
"NARAYA!"
"NAYY!"
Mereka dipanggil lebih cepat. Tangisan semesta pun tumpah-tumpah bersungkawa atas tragedi malang menimpa dua mahkluk kesayangan Tuhan. Semoga lekas dipertemukan, tiada dapat menerka ke mana arah mereka pergi sekarang, mungkin sejatinya cinta mereka bisa saja memang tercipta di keabadian sana.
"Sayangku, anakku, Ya Allah... Tolong bertahan, Nak." Badan dan keras hatinya berguncang selagi yang di bawah menganga mengudarakan napas terakhir.
Ketika ada wujudnya terkadang tak terdeteksi oleh perasa dan ketika segalanya sirna direnggut masa di sana lah orang-orang berbondong-bondong buka mata lebar-lebar demi melihat apa saja yang mereka lewatkan.
Tentang hadir yang tak sekedar ada namun juga ingin diakui keberadaannya. Tak perlu seluruh dunia tahu, cukup hanya mereka yang dirindukan belas kasihnya. Ironisnya benar adanya, uluran alam semesta hanya teruntuk 'mereka' yang sudah tiada.
.
.
.
.
.
Maaf kalau kesannya kek aku jahat banget buat dua tokohnya sama-sama gugur. Aku yakin sebagian besar dari para author pasti pernah melampiaskan emosinya melalui tulisan dan ini lah yang kulakukan:)
Membayangkan bagaimana jadinya kehidupan mereka tanpa adanya kita—yang merasa sebagai tokoh utama—apakah orang-orang yang menyayangi atau membenci kita akan turut bersedih? Menyesal? Kita kan nggak pernah tau.
Karena ketika waktunya datang kita benar-benar sudah hilang.
Boleh ambil positifnya aja ya bestie :)
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]
Teen FictionSejalan, tak searah. Nachandra Renjana dan Naraya Hysteria adalah dua remaja yang terbelenggu dalam trauma masa lalu. Tentang kehilangan orang-orang terdekat, kekerasan sejak dini, pemulihan diri dari masalah kesehatan mental, sisi kejam dunia pada...