7. Thanks, Ra

204 79 18
                                    

Suara detik jam yang kian berganti sedang menyapa dua anak remaja sama-sama disibukkan membaca pikiran masing-masing. Perlahan salah satu di antaranya menghela napas memijat pelipisnya.

"Maksud lo-"

"Masalahnya cuman satu, Nay." Alis Naya terangkat penasaran.

"Nggak inget, hah? Kemarin pas gua telpon lo bilang udah pulang, padahal apa? Gue liat lo berduaan sama cowok itu." Haidan menertawakan dirinya sendiri merasa dibodohi.

Naraya terdiam, bahkan sampai lupa kemarin pacarnya sempat menelpon saat mood-nya sedang tidak baik. Kemarin Haidan sempat menawarkan pulang bersama untuk membeli makanan di kedai terdekat tapi ia menolak.

"Inget, Dan. Gue inget kok. Sorry buat lo  nggak nyaman dengan ini." Naraya tersenyum kaku, mendekat pada laki-laki itu lalu memeluk tubuhnya di atas sebuah kursi tua milik ruangan kelas yang sudah lama terbengkalai.

"Gue maafin, cantik. Lain kali jangan lagi." Sadar sempat berperilaku tak menyenangkan. Melihat senyum Haidan sedikit membuatnya lega, setidaknya tidak perlu ada berdebat lagi di antara mereka.

"Apapun itu, Dan. Jangan bawa-bawa Chandra ya," gumamnya samar.

Haidan bergumam pelan merasakan kehangatan dari tubuh si gadis memeluknya. "Hm, kenapa lo kaya takut banget gue apa-apain dia?"

Tangan mungil Naraya memukul Haidan melepas pelukannya. "Karena gue ... nggak kenal dia. Jadi percuma aja kalo lo mau marah."

"Naraya, Naraya. Tapi sepenglihatan gue kalian deket banget. Lo pikir gue nggak liat?"

Lelah, sebenarnya sudah cukup lelah ia menjelaskan hal sepele semacam ini pada sang lelaki super protektif ini sudah kali ke sekian Haidan menuduhnya berselingkuh dengan laki-laki lain.

"Gue nggak kenal, Haidan! Om gue yang ngenalin gue sama Chandra itu." Haidan memang pacar yang terlalu posesif baginya, kadang sikap seperti ini berlangsung lama dan akan sungguh amat menyebalkan.

"Apapun itu, jangan deket-deket dia lagi, Nay."

"Ok, fine."

Entah ini hanya perasaannya saja, atau memang benar adanya. Rasanya percakapan kemarin lebih terasa berat dan melelahkan dari biasa, karena biasanya keesokan harinya dia akan segera melupakan semuanya dan kembali menjalani hidup dengan tenang.

Terbangun bagai kembali pulih, tetapi sedikit berbeda, kepalanya malah pusing akibat terus terbayang. Semoga saja kali ini dirinya tidak salah memilih langkah yang dianggap tepat.

Naraya lantas membanting tas di atas meja menimbulkan suara nyaring langsung menjadi pusat perhatian di sana.

Netranya melirik ke segala arah, dan benar saja sekarang ia merasa tengah berdiri seperti seorang artis naik ke atas panggung.

"Ke mana aja?? Gue cariin." Itu Adinar gadis berambut sepinggang, berponi tipis. Adalah salah satu teman Naraya yang paling mengerti keadaannya sejak SMP.

"Lo nggak liat setiap hari gue ke belakang?" tanyanya menyindir.

"Eh, iya? Enggak sih, Nay. Gue nggak dateng sepagi lo. Baru hari ini gue dateng pagi." Adinar tersenyum kaku, di saat-saat begini ia tau temannya tak sedang baik-baik saja.

Kebiasaan lama. Bahkan tak jarang Naraya akan berbicara seorang diri tanpa menghiraukan sekitar, padahal saat itu Adinar juga ada di sana. Tetapi tentu itu bukan masalah, toh, sudah menjadi makanan sehari-hari juga gadis itu mendiamkannya, hanya berbicara sesekali.

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang