24. Rumah tanpa pilar, apa bisa?

921 167 3
                                    



kalau kalian masih bingung sama hubungan yg jeno maksud di chap sebelumnya, coba baca ulang chap 23 abis itu baca chap 2O okieee 💞🥺

***


Jimin bersyukur, setidaknya itulah yang dirinya lakukan selama beberapa hari terbelakang ini dengan tidak membuat ulah atau bahkan membolos. Tidak ada satu murid pun yang membicarakan fotonya dengan Jeno lagi, bahkan menatap sinis pun tidak.

Selain kepada Minjeong dan para sahabatnya, dia juga harus berterimakasih pada anonim yang mengirimkan pesan peringatan kepadanya saat itu, jika dirinya tidak mengikuti peringatan dari anonim itu, entah seperti apa dirinya saat itu.

Hari ini mereka berniat untuk bermain sehabis sekolah, dua teman Minjeong (re: Ryujin dan Yujin) itu bilang jika ini untuk refreshing dari pusingnya belajar selama seminggu, padahal jelas seminggu ini lebih banyak jam kosongnya dibanding belajar melihat.

Tapi dirinya tidak bisa jika harus pergi bermain dengan seragam sekolahnya, jadilah ia meminta Minjeong untuk menemaninya pulang baru menyusul teman-temannya.

"Mau ikut masuk atau nunggu?"

Mata Minjeong tampak menelisik area pekarangan rumahnya yang sontak ikut dilihatnya juga, disana terdapat 2 buah mobil berbeda terparkir, apakah kedua orang tuanya sudah pulang?

Gadis itu tersenyum simpul, "Aku nunggu disini aja, Kak Jimin"

Jimin mengangguk pelan lalu masuk kedalam rumahnya, di ruang tamu sudah ada appa dan eomma nya yang menunggu. Raut wajah mereka tampak tegang, tidak ada obrolan yang terbuka di antara mereka, dan ketika melihat kedatangannya wajah mereka semakin tegang. Seperti memang sedang menunggu dirinya untuk datang.

Rumah ini selalu sepi, kedua orangtuanya workaholic, bahkan bisa tidak pulang ke rumah sampai berminggu-minggu terlebih saat mereka bertengkar seperti akhir-akhir ini. Jadi, ketika ia melihat keduanya duduk berhadapan di sofa, Jimin tahu ada yang tidak beres.

"Apa yang mau kalian omongin?"

"Jimin sayang..."

Ia membuang wajahnya melihat tatapan memelas sang eomma, "Kalian nggak mungkin duduk berdua disini kalau bukan nunggu Jimin kan?"

Tuan Yu berdehem, "Duduk disini Yu Jimin dan benar, kami ingin memberitahu sesuatu"

Jimin menggeleng, "Jimin buru-buru, kenapa nggak kirim lewat pesan? Atau titip ke Shin ahjumma? Kayak biasanya" Sarkasnya dengan kekehan di akhir, "Baru sadar punya anak di rumah atau gimana?"

"Jimin sayang..."

"Kami memutuskan untuk berpisah dan sidang terakhir akan diadakan minggu depan, saya harap kamu bisa datang" Tukas Tuan Yu.

Berpisah? Sidang? Berminggu-minggu tidak kembali untuk membicarakan ini? Bukan, bukan membicarakan, mereka bahkan sudah menentukan tanpa membiarkan dirinya mengetahui.

Tanpa sadar air matanya mulai berjatuhan, dunia memang kejam tapi mengapa harus ketika dirinya mulai bahagia? Kenapa ketika Jimin sudah mulai melupakan permasalahan keluarganya?

"Dan setelah sidang nanti kamu akan tinggal bersama sa–"

"Seungho! Bukan ini pembahasan kita waktu itu, kamu janji untuk membebaskan pilihan Jimin"

"Jimin akan bahagia bersama saya, dia tidak akan terurus jika tinggal bersama kamu"

Tangan Jimin mengepal seiring dengan tingginya nada dari orang dewasa dihadapannya. Membebaskan dirinya tinggal? Bahagia? Tidak terurus? Jimin tertawa sarkas, bukankah mereka sedang mendeskripsikan diri mereka masing-masing? Tidak ada bedanya jika itu harus bersama sang appa atau sang eomma.

Forever [Yj.Km]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang