Alarm kebakaran berbunyi dalam satu detik setelah suara ledakan besar muncul di bawah ruangan putih di gedung restoran. Orang-orang berpakaian wearpack chef berlarian mengambil perlengkapan keamanan, tak lupa salah satunya memberikan laporan pada kepala chef terjadi ledakan di dapur mereka.
Beberapa pelayan mengevakuasi setiap sudut restoran yang tengah ramai pengunjung.
Asap tebal menyelimuti ruangan yang kini tersisa beberapa orang. Mereka berusaha memadamkan api menggunakan APAR-alat pengendali api ringan-yang tersedia sebagai perlengkapan keamanan.
Tidak disangka sebuah oven meledak saat semua orang tengah berada dalam kegiatan memasak. Api telah padam, namun asap tebal masih mengelilingi ruangan itu hingga keluar dari jendela bundar.
Merasa sudah terkendali, mereka mulai bernapas lega. Namun kejadian lain terjadi saat semua mulai terkendali. Ledakan kembali terjadi yang kini sebuah gas LPG meledakkan ruangan dengan api. Muncul getaran hebat di area itu hingga mereka yang masih berada di ruangan terpelanting terlahap oleh api.
"Hah ... percuma." Seorang perempuan dua puluh tahunan tergeletak lemah di lantai. Asap yang semakin tebal membuat daya oksigen berkurang di paru-parunya.
Pandangannya semakin memburam dengan oksigen yang menipis. Api yang membara membuat ia bercucuran keringat saking panasnya. Luka bakar di kaki serta sebuah hantaman pada kepalanya akibat benda yang melayang dari ledakan itu membuatnya kini tak berdaya.
'Jika aku mati ... setidaknya aku puas menjadi Chef de Cuisine.'
Dia pasrah saja jika ini adalah akhir. Matanya terpejam di tengah kobaran api yang mulai melahap seluruh ruangan.
***
Panas lalu dingin.
Kehidupan selalu saja mempermainkan orang lain dengan takdirnya, apa sekarang aku juga dipermainkan oleh kematian? Apa dosaku hingga berakhir seperti ini?
Seharusnya aku melambaikan tangan seperti seorang putri dengan para fans di restoran yang menyukai masakan ku. Semua hilang saat nyawaku melayang karena ledakan.
Ya benar. Aku Sena Adhinatha, perempuan dua puluh tahun yang merintis karir sebagai chef baru di belahan Asia Tenggara.
Meski seorang chef, aku sama sekali tidak berminat memasuki industri kuliner karena sekarang, aku lebih memilih sebagai seorang penulis. Ya meski amatir dan hanya sebagai pekerjaan sampingan, tapi aku menyukainya.
Membayangkan alur cerita yang dapat kita kendalikan sesuai harapan dan imajinasi membuatku bebas.
Jika saja ledakan itu tidak terjadi, maka keesokan harinya aku akan pergi ke negara favoritku, Jepang. Ingin bertemu husbu di Akihabara. Semua hilang.
'Sial. Aku belum masuk tipi.'
Entah kesialan atau keberuntungan, aku masih bisa merasakan semua indraku berfungsi dengan baik. Sampai cahaya muncul di sekitar kegelapan.
"Putri ..."
Suara keributan mengisi indra pendengaran ku. Ini lebih mengganggu daripada suara kenalpot racing para pemuda banyak gaya di luar. Berisik.
Aku kira di alam baka suasananya seperti kantor guru waktu sekolah dulu. Sunyi tapi banyak harimau. Perlahan mataku terbuka karena cahaya kecil.
Atap yang lebih mewah dari hotel menyita perhatian mataku pertama kali. Saat itu pula aku mengernyit kebingungan.
Ini pasti mimpi. Bagaimana ada alam baka yang terbangun atap mewah berornamen emas kekuningan? Alam baka zaman now.
Baik. Kembali tidur lalu semua akan berakhir saat itu juga.
"Astaga! Putri."
Aku terperanjat hingga terjatuh dari tempat tidur dengan selimut yang terlilit di tubuhku. Segera aku bangun membuat beberapa sendi berbunyi. Tubuh ini rasanya kaku tidak karuan.
Memegang pinggang, aku sedikit meringis nyeri, "Ad-...duh."
'Loh? Ini sakit.'
Aku memeriksa tubuhku yang kini terasa lebih kecil dari awalnya. Kulit putih dan mulus di tangan tanpa bekas luka bakar ataupun sayatan kecelakaan kecil akibat pisau di dapur juga hilang.
"Apa ini?" Aku berkedip beberapa kali, tersenyum hambar dalam hati karena wajahku rasanya kaku.
Sesaat kemudian seseorang berteriak keluar dari ruangan. Aku belum sempat melihat siapa itu, tapi yang ku temukan adalah bayangan gadis di depan cermin yang ku pandang saat ini.
Rambut hitam panjang dengan bumbu netra biru laut berkilau seperti permata membuatku sedikit terpesona dengan wajahnya yang imut dengan bibir mungil.
Aku memegang kepala, begitu pula bayangan gadis itu dengan gerakan yang sama.
'... Lo dare?' batinku tanpa sadar menggunakan kata-kata legend dalam bahasa Jepang tambahan bumbu Indonesia.
Tubuh mungil tentu bukan aku. Batinku menangis dengan satu telapak tangan menyentuh permukaan cermin besar dan satunya lagi mengepal erat.
'My normal life, over.'
***
Seorang pria berjanggut berpakaian dokter dengan khas jubah putihnya memeriksa denyut nadi di pergelangan tanganku. Satu orang wanita berpakaian kuno berdiri dengan wajah khawatir.
"Anda tidak ingat saya, Putri?" Tanya dokter kesekian kalinya dengan hati-hati.
Aku menghela napas tipis, memandang ke arah lain sembari membalas singkat, "Hm."
'Gadis ini bisu atau apa?' geram ku dalam batin. Wajah, suara, sama-sama irit dalam menampilkan kondisi. Jelas sekali gadis ini tidak terbiasa tersenyum atau berbicara dengan orang lain. Rahangnya terlalu kaku.
"Tuan Putri kehilangan ingatan. Mungkin karena benturan keras di kepalanya saat kecelakaan itu. Namun, syukurlah Putri bertahan sampai saat ini mengingat sudah enam bulan Anda tertidur."
Aku menoleh saat dokter itu berbicara. Gadis ini mengalami koma selama enam bulan karena kecelakaan. Aku mati dan bereinkarnasi, tandanya jiwa gadis ini sudah mati.
"L-lalu ... apa Putri bisa sembuh?" Tanya cemas wanita pelayan. Aku melirik pada dokter yang kini terdiam dengan kepala sedikit menunduk.
Dia menghela napas tipis, lalu menggeleng, "Jika hanya kepala yang sakit itu ada obatnya, namun jika ingatan itu hilang mungkin tidak bisa kembali ataupun diobati."
'Nice sentence.' aku memegang dagu, berpikir sejenak setelah melihat wajah mereka kini murung.
"Siapa namaku?" Tanyaku membuat mereka terkejut. Beberapa detik mereka terlihat ragu bicara.
"Anda ... Putri Aristella Julius de Vermilion. Putri Mahkota tunggal di kerajaan Vermilion," jawab dokter berkeringat dingin. Itu membuatku mengernyit, berpikir ulang. Rasanya pernah mendengar nama itu.
'Aristella ... Julius. Ah bukan. Aku teringat nama Vermilion.' batinku tertawa hambar, 'Tidak mungkin dia kan. Sialan.'
つづく
________START 21012022/05________
FYNIXSTAR_IDBerusaha untuk produktif (*_*) loading •••
Bismillah ... jangan stuck(. ❛ ᴗ ❛.)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unstella : Antagonist Talent [END]
FantasyHal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri. *** Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku. Namun, semu...