Kami kembali tepat pukul tiga. Semua murid segera kembali pada hal yang mereka inginkan, ya, tentunya beristirahat di kamar asrama. Setelah pidato singkat Aiden sebagai penutup, semua kembali ke gedung asrama masing-masing.
Aku melangkah tenang di lorong gedung, hanya diam menatap lantai yang hendak ku lewati. Masih bingung dengan perasaanku, ternyata bukan hanya ekspresi atau mimik wajah saja yang terpengaruh dengan tubuh ini, ternyata perasaan juga. Merepotkan.
"Yang Mulia."
Riana memanggilku pelan di belakang. Ya. Kami berada di satu gedung asrama yang sama. Envy sekarang ada di depanku, melangkah santai dengan kedua tangan bersilang di belakang kepala.
"Apa ada masalah? Sejak tadi ... Anda terlihat murung."
Saat mendengar ucapan Riana, langkahku melambat, sekilas aku meliriknya tanpa menghentikan langkahku, "Tidak ada."
"Benarkah?" Tanyanya lagi memastikan. Aku kembali melangkah dengan kecepatan normal sembari menjawab singkat, "Hm."
Respon dariku membuat Riana diam seketika. Envy sekilas juga menoleh pada kami. Aku menghela napas tipis, berjalan cepat sehingga melewati Envy menuju ke kamar asrama.
***
Riana menatap punggung Stella yang menjauh, meninggalkannya bersama dengan Envy di lorong. Dia terlihat mencemaskan suatu hal. Envy yang menyadari itu menghentikan langkahnya, balik badan menghadap Riana, "Kenapa kau terlihat khawatir seperti itu?" tanyanya tanpa basa-basi, menaikkan satu alisnya.
Riana masih menatap jalan lorong yang Stella lewati, "Putri Aristella ... entah kenapa rasanya ada yang ia sembunyikan."
Envy menoleh ke arah yang Riana tatap. Perasaan mereka serupa terhadap Stella, merasa ada yang aneh itu wajar, namun Envy berbeda akan apa yang ia lakukan terhadap perasaan itu, "Jangan dipikirkan. Kau lupa dia siapa? Putri Vermilion yang gila."
'Karena dia lawan yang sulit.' Ya. Dia lebih memilih percaya ada suatu alasan di balik sikap Stella hari ini daripada memikirkan hal yang tidak perlu. Dalam pandangannya, Stella hanya Putri Mahkota gila yang bisa menguasai semuanya dalam satu amatan. Envy menganggap Stella sebagai lawan, musuh bebuyutan, namun juga sebagai partner.
'Semoga Putri baik-baik saja.' batin Riana menggigit ujung ibu jarinya tanda cemas.
***
"El, sedikit ke kiri. Ah! Kanan, kanan. Bagus! Harus ku potret."
"Stella, pot ini diletakkan dimana?"
"Bisa kau buat kerangka hiasannya? Itu sulit."
'Brengsek.' suara mereka benar-benar seperti jangkrik saat ini. Rasa-rasanya hanya aku yang bekerja, mereka terus-terusan memanggil saat ada yang hendak dikerjakan. Beruntung besok aku bisa bersantai, meski hanya satu hari saja.
Aku menghela napas panjang membuat uap di udara karena hawa dingin. Saat akhirnya semua selesai, aku duduk di bangku depan salah satu toko yang sedikit tertutup salju menatap malas anggota kelompok yang kini mondar-mandir untuk meletakkan barang-barang hiasan ke gudang. Dengan begitu, tidak perlu lagi mereka membuat hiasan di waktu festival nanti.
"Lelah?" Aiden tiba-tiba saja duduk di sampingku, menanyakan hal konyol yang bahkan ia sudah tahu jawabannya. Aku tidak menanggapinya, memandang ke arah anggota lain yang sekarang malah bermain-main dengan salju.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unstella : Antagonist Talent [END]
FantasyHal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri. *** Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku. Namun, semu...