CHAPTER XXXVI

30.1K 5.7K 153
                                    

Muncul istilah baru yang kekinian, tanda kutip benar-benar hangat, masih baru. "Rumah sakit lebih ramai daripada Tempat Wisata." Itu yang ku alami saat ini.

Ruang perawatan yang sekiranya simetris dengan ukuran sisi dua puluh meter ramai oleh para serangga, ah tidak, hama mungkin lebih baik. Kutu, jangkrik, belalang, ulat, lalat, nyamuk, dan terakhir prajurit lebah, mereka berkumpul membuat keributan.

Di tambah Profesor Egatha yang selalu melihat keluar pintu ruangan seakan menjaga sesuatu. Sesekali ia menoleh untuk memastikan satu hal.

"Kenapa kalian masih di sini? Cepat kembali ke asrama masing-masing!" Profesor Egatha bicara tegas. Namun yang ia dapat sebuah kalimat yang terlontar tanpa rem dari sang para Serangga.

"Mengapa kami harus sedangkan Profesor sendiri tetap di tempat itu sambil menirukan gaya cicak menempel di dinding." Mexis yang menjawab, lainnya mengangguk setuju.

Profesor Egatha benar-benar seperti penjaga pintu yang ulung. Dengan bergaya cicak dia menahan pintu yang sedari tadi seperti hendak di dobrak dari luar.

Profesor Egatha, wanita tua itu sudah benar-benar kekanak-kanakan.

"Mereka lebih ganas dari serangan Goblin lalu. Benar-benar menyebalkan."

"Hei! Kami dengar ocehan mu! Buka pintunya Ega!" Seseorang berteriak dari balik pintu, mendobraknya namun tertahan oleh Profesor Egatha.

"Ya ampun! Berisik sekali!" Envy berseru kesal di ranjang seberang. Lukanya sudah di obati, sejak tadi dia berbaring untuk istirahat tapi terganggu. Emosinya yang sudah memuncak membuatnya bangkit duduk dengan tanda perempatan silang di pelipisnya, mengacak-acak rambut yang sudah berantakan.

"Kalian! Bantu aku jika tidak ingin mereka membawa pergi Aristella Julius dari Evergreen!" Profesor Egatha lagi-lagi berteriak, berusaha keras menahan pintu.

Entah bodoh atau apa, Envy tiba-tiba beranjak, melangkah cepat mendekat pada profesor—ikut menempel pada daun pintu. Bukan hanya dia, Riana dan Layla juga, "Ayo berjuang untuk mempertahankan idola kita!" Layla berseru asal.

Aku hampir menepuk dahi. Memilih untuk mengabaikan mereka, tidur menyamping tidak peduli. Baru saja memutar badan, wajah seseorang sudah menyapa, membuatku sedikit tersentak kaget meski tidak terlihat jelas di wajahku.

"Aku tidak menyangka akan muncul dua belas kekuatan dalam dirimu," Aiden tersenyum tipis sebelum melanjutkan kalimatnya, kacamatanya menelusuri, "Vermilion akan bangga padamu, Putri."

Wajahnya itu, terlihat bersinar seperti purnama di pandanganku apalagi saat ia tersenyum. Tanpa sadar tanganku terulur. Aiden menatap bingung, saat menggapai kacamatanya, dia tersentak meski terlambat, kacamata itu sudah ku lepas darinya.

Jujur, aku sedikit terpaku saat melihatnya. Tanpa kacamata yang selalu ia kenakan dan mata biru tua terlihat seperti kilauan lautan malam yang terpancar sinar rembulan.

"Sudah ku duga kau tampan seperti ini."

"Terimakasih. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun tanpa kacamata ini." Aiden dengan ketus membalas, mengambil kembali kacamatanya dari tanganku, berdiri, dan memakainya.

Aku menatap tenang, bangkit duduk seraya menghembuskan napas perlahan. Entah perasaan ku atau apa, suhu ruangan jadi lebih panas dan sesak. Cuaca di luar yang tadinya cerah, kini tiba-tiba gelap akibat awan yang tebal menutupi matahari.

"Fiuh~," Profesor Egatha sengaja bersuara, seraya lengannya mengusap dahi yang berkeringat.

Lebih hening di luar sana, meski masih terdengar suara protes dan langkah kaki yang menjauh. Riana dan Layla menghela napas lega. Aku menatap Profesor heran, "Kenapa Profesor kemari?"

Semua menatap ke arah Profesor saat menyadari ucapanku. Tidak mungkin jika Profesor Egatha datang hanya untuk menjenguk. Dia kepala akademi, seharusnya menemani para tamu kehormatan, bukan ke ruang perawatan.

Profesor Egatha tersenyum, kembali pada mode wibawanya sebagai pemimpin di akademi. Segera wajahnya mulai menampakkan ekspresi serius, menatapku.

"Aristella Julius, ada yang ingin ku sampaikan tentang Sacra Arbor padamu." Profesor Egatha mendekat, membisikkan sesuatu. Aku segera mengernyit saat kalimat Profesor terdengar, "Evola mendeklarasikan perang perebutan Sacra Arbor."

Peperangan. Itu tidak pernah terlintas di kepalaku. Jika menyangkut Sacra Arbor, itu berarti jika Evola berhasil menaklukkan Liegorald semua akan hancur dan hanya dunia bawah yang selamat.

"Aku sudah menimbang-nimbang ini sejak melihat kekuatanmu. Hanya kau, sebagai takdir Sacra Arbor yang bisa menghentikannya."

"Profesor. Bagaimana bisa kau yakin aku adalah takdir pohon tua itu? Ciri-cirinya saja tidak tertera dalam jiwaku."

Aku membaca buku perihal sang terpilih. Ciri-cirinya sudah tertera jelas di dalamnya. Kekuatan murni dari jiwanya—bukan hasil percampuran jiwa asing—suci menampilkan kerendahan hati, cahaya yang selalu berpihak padanya, kebaikan yang selalu di berikan, satupun tidak ada yang mewakili sosokku di sana.

Kebalikan, aku licik dengan menggunakan pengetahuan dari kehidupan sebelumnya, berkembang cepat di sini. Alih-alih rendah hati, aku lebih memilih jalan pembalasan dendam daripada melupakan dan memaafkan, seakan tak terjadi apapun.

"Aristella, aku tahu kau tidak akan menerima ini dengan percuma apalagi ini tidak ada sangkut pautnya denganmu. Namun, aku memintamu untuk menemukan keberadaan Sacra Arbor."

Aku menoleh pada Profesor, bingung. Mereka juga menoleh padanya dengan tatapan yang sama.

"Keberadaan Sacra Arbor? Bukannya ada di sini?" Mexis bertanya dengan dahinya yang mengernyit. Aku diam-diam mengangguk setuju, namun Profesor Egatha menggeleng, menatap kami.

"Aku tidak tahu keberadaan pasti Sacra Arbor itu, sampai saat ini."

"Lalu? Kabar murid di peringkat pertama yang memenangkan Festival StarLight mendapatkan kesempatan menghadap Sacra Arbor dan permintaannya dikabulkan itu bohong?" Envy bertanya lebih panjang.

Jawaban anggukan dari Profesor lagi-lagi membuat kami menatap tak percaya. Siapa yang akan percaya hal ini? Kabar itu hanya kebohongan?

'Tunggu. Di novel, pertemuan Sacra Arbor dengan Riana, tidak dijelaskan dengan lengkap.' Keberadaan Sacra Arbor tidak jelas tergambar, hanya selarik kalimat yang menjadi gambaran pohon itu.

Saat Riana mengucapkan permintaan di depan pohon untuk menyelamatkan Evergreen dari kehancuran akibat perpecahan ras benua. Itupun, masih ada masalah. Sacra Arbor kehilangan kekuatannya, lantas dengan mendengar permintaan Riana, pohon itu bersinar terang seperti bulan purnama.

"Tidak masuk akal." Aku menepis semua itu, dari awal, Sacra Arbor pasti berada di akademi ini.

"Aku tahu. Kami terpaksa melakukannya untuk menyembunyikan kebenaran," Profesor Egatha menggantungkan kalimatnya, menunduk dengan ekspresi sedikit terlihat akan kesedihan, "jika orang-orang tahu hal ini, Evola mungkin saja akan mendengar kabar burung, lantas dia puas dan mencari dengan leluasa tanpa sepengetahuan kami."

Profesor Egatha menatapku penuh keyakinan, "Sacra Arbor akan ditemukan oleh sang terpilih. Dan setelah melihat kekuatanmu, aku yakin kaulah orangnya."

"Bagaimana kau berjuang untuk mempertahankan kerajaanmu, bagaimana kau memikirkan nasib rakyatmu saat ini, bagaimana kau mengalahkan Putra Mahkota yang akan memimpin benua dengan berani, dan bagaimana kau memberikan jalan bagi kami yang telah berada di jalan buntu. Harapan, cahaya, kekuatan, keberanian, semua itu ada dalam dirimu, Aristella."

つづく

ARIGATO FOR READING
THANKS

The Unstella : Antagonist Talent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang