CHAPTER XXXIII

29.1K 5.5K 212
                                    

"Mimpi jangan terlalu tinggi," gumamku mengingat kembali ekspresi kebanggaan Ried di layar.

Kami berada di ruang tunggu sebelum nama peserta di sebut oleh pembawa acara.

Pertandingan pertama berlangsung lebih lama dari dugaan. Ried dan Liam, mengalahkan lawannya dalam waktu dua puluh menit. Aku juga mengira pertarungan kami akan berlangsung kurang dari dua puluh menit, ternyata memerlukan lebih dari itu untuk menang.

Ya. Pertarungan pertama kami berakhir kemenangan dengan skor memuaskan. Meski beberapa kali kami berseteru di tengah pertarungan karena perbedaan pendapat, dengan perbedaan itu untung saja aku bisa membaca pergerakan lawan.

Saat salah satu lawan menyerang dengan tiba-tiba, aku mengingat seluruh gerakannya. Bertahan semampu mungkin dengan Envy yang menyerang di depan.

Di saat-saat terakhir, aku melesat cepat ke arah lawanku, melakukan gerakan yang sama namun lebih kuat dua kali lipat daripada miliknya. Alhasil, dengan kemampuan itu kami menang meski mencapai waktu kurang lebih 23 menit.

"Persiapan untuk peserta kedua. Envyren Safire, Aristella Julius."

Ini adalah pertarungan akhir. Tersisa enam pasangan tim. Menjadi tiga sesi. Aku berada di sesi kedua bersama Envy. Sebelumnya, banyak hal yang telah ku ketahui langsung dari Envy sendiri.

"Alasan kenapa aku harus memenangkan pertandingan ini mungkin simpel saja. Aku ingin bertemu lagi dengan ibuku."

Masalahnya lebih berat dari yang ku kira. Ibu Envy, Ratu Demonic dikurung di menara oleh Raja Demonic. Melebihi dugaan, alasan beliau dikurung adalah dianggap gila oleh orang-orang.

Envy berpisah dengan ibunya sudah lebih dari sebelas tahun. Ya. Ibunya dikurung saat ia berusia lima tahun. Parahnya lagi, hanya bisa menatap wajah ibunya dari sebuah gambar dari lukisan di istana. Itu saja harus dirahasiakan dari Raja.

"Entah bagaimana kabar ibu sekarang. Yang ku ingat darinya hanya satu hal. Kehangatan dari pelukannya waktu itu, sangat melekat. Aku ingin merasakannya lagi."

Sekilas, dapat ku lihat kesedihan dari tatapan Envy. Namun setelah itu, dia bangkit mengusap wajah.

"Astaga, bicara apa aku ini. Mulai lagi, terserahlah. Ayo segera bergegas. Ini sudah hampir waktunya bersiap untuk akhir."

Aku tahu itu hanya sebagai pengalihan topik. Namun menanyakan hal itu lebih lanjut pun tidak akan mengubah suasana, malah akan memperburuk suasana saja. Lebih baik menjadi seorang pendengar daripada pemberi saran tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Lagipula jika Envy tidak meminta bantuan secara langsung, aku tidak akan ikut terlibat dalam masalahnya karena itu akan merepotkan jika tidak ada imbalan apapun.

Layar yang berada di dinding pintu, berputar selayaknya lotre. Beberapa saat kami menunggu untuk menampilkan siapa lawan kami berikutnya. Saat layar itu berhenti berputar, menampilkan wajah dua orang sekaligus data murid Evergreen. Namun tidak ku sangka, mereka yang akan menjadi lawan kami.

"Pertarungan selanjutnya adalah Envyren Safire, Aristella Julius, melawan Ried Piola bersama dengan rekannya Liam Emik!"

Nama kami telah dipanggil. Aku mengambil napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan, lantas menatap Envy yang bersamaan ia menoleh.

Dia mengulurkan kepalan tangan di udara, tersenyum dengan sorot keyakinan, "Kita bisa melakukannya."

Ku tanggapi dengan datar, membalas kepalan tangannya, saling menghentak membuat tos, sebelum pintu terbuka serta cahaya yang merambat menyapa kami.

***

Di sisi lain, ditempat keempat tamu terhormat berada saat ini. Mereka menyaksikan pertarungan yang 'lumayan' mengesankan, namun tidak sepenuhnya membuat mereka tertarik.

The Unstella : Antagonist Talent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang