Seorang murid laki-laki berambut albino keabu-abuan kini tengkurap dengan air keringat yang bercucuran deras seperti air di lapangan pelatihan. Tawa murid-murid terdengar pelan karena sedikit rasa takut terhadapnya.
"Itu baru tiga puluh, masih kurang tujuh puluh lagi. Cepat lakukan." Suara tegas dari Profesor Yuren membuat bungkam mereka meski beberapa menahan tawa.
"Akh! Kenapa Anda melakukan ini? Saya hanya terlambat lima belas menit." Murid laki-laki itu-Envyren-protes dengan mengangkat kepalanya.
Hukuman push-up seratus kali diberikan Profesor Yuren secara 'khusus' untuk si biang kerok itu.
"Lima belas menit katamu?" Tatapan tajam dari Profesor Yuren yang mengeluarkan aura mencekam membuat semua merinding termasuk Envy. Dia tersenyum tertekan dengan keringat dingin.
"O ... Okey! Ayo lakukan. Tiga satu, tiga dua, tiga tiga, tiga empat, tiga lima ..." tiba-tiba saja Envy bersemangat melakukan hukumannya. Mau tidak mau, dia terpaksa. Sebenarnya, Envy terlambat enam puluh menit penuh, alias satu jam.
Salah satu murid hanya bisa menggelengkan kepala ringan. Sebagai temannya, ia merasa malu, "Dasar idiot."
"Hey! Aku bisa dengar itu," Envy berseru ke arah temannya yang ada pada barisan murid lain. Ya. Leon, dia ringan mengangkat bahu.
Profesor Yuren yang mendengar kebisingan Envy, dia kembali menatap tajam dan lagi-lagi Envy hanya bisa menahan batinnya yang menangis untuk melanjutkan hukumannya.
***
Di sisi lain, murid laki-laki berambut coklat tua menatap hamparan buku di perpustakaan. Dia dengan serius membaca satu-persatu lembaran buku yang bertuliskan tulisan kuno. Meski begitu, pikirannya mengarah pada hal yang lain.
Ya. Dia tidak bisa berkonsentrasi karena dalam kepalanya terbayang-bayang akan wajah cantik dari seorang gadis bernama Riana. Siapa lagi kalau bukan, Mexis.
Untuk pertama kalinya ia membolos pelajaran. Sejak melihat Leon bersama dengan Riana waktu itu, ia akhir-akhir ini merasa enggan dengan Riana.
"Hah ... kacau," gerutunya menopang kepala. Tidak biasanya pula dia melupakan beberapa arti kata dalam bahasa kuno itu.
Dua jam dia terdiam merasa tak berguna juga dia terus di perpustakaan, pada akhirnya dia menyerah, beranjak dari kursi nyamannya saat lonceng menara jam akademi berbunyi tepat pukul sembilan.
Saat berjalan keluar, ia disambut oleh taman yang mulai ramai. Sialnya, semua murid yang keluar itu semua sepasang kekasih.
'Sialan.' Mexis mengacak-acak rambut belakangnya pelan, menghela napas lantas berdecih melewati orang-orang itu yang penuh akan bunga-bunga.
Sampai langkahnya terhenti saat tidak sengaja ia bertabrakan dengan seseorang. Buku yang orang itu bawa berceceran di lantai taman dengan ia yang terjatuh.
"Ah, maaf ..." Ucapan Mexis terhenti saat menatap wajah kesal orang yang ia tabrak. Seorang gadis dengan rambut hitam panjang dengan netra biru laut. Ya. Aristella Julius, tidak ada lagi yang berambut hitam sepertinya di sini.
"Jalan silakan gunakan mata dan kaki Anda dengan baik, Tuan," ujarnya menyembunyikan rasa kesal. Tangannya meraih buku-buku yang terjatuh.
Mexis spontan membantu. Tangannya terhenti dengan netra nya yang terbelalak melihat buku di genggaman tangannya, "Kau membaca buku ini juga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unstella : Antagonist Talent [END]
FantasyHal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri. *** Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku. Namun, semu...