Sama seperti Everglori yang lainnya, mereka menyiarkan pertarungan antar murid itu disetiap sudut akademi. Kini, murid-murid yang malas dan tidak sepenuhnya tertarik hanya duduk di kelas menyaksikan pertarungan di papan depan kelas.
Anehnya, berasal dari para Profesor yang mengajar di kelas itu tiba-tiba berhenti dan memilih keluar kelas menuju studion.
"Gadis itu bertarung? Hah! Sudah sangat jelas siapa yang akan menang."
"Benar. Kelas C dan E sudah berbeda, dia berani sekali."
"Bukan berani, dia itu bodoh."
Tawa menggelegar remeh diantara para murid dalam kelas. Hanya tiga orang yang tidak mengikuti jalan para setan itu, terutama Riana. Dia menatap khawatir layar di depannya, "Apa akan baik-baik saja?"
Mexis yang menjalankan misi wajib paginya di samping Riana kini membuka mata, menatap sesekali menguap tak bersalah sembari menopang dagu ke arah layar, "Dasar bodoh. Dia menggali kuburannya sendiri."
"Jangan bicara seperti itu!" Seru melengking Riana pada Mexis.
"Aku benar kan," balas Mexis tidak mau kalah dari sahabatnya. Mereka berdebat hak sepele sampai Mexis bicara, "Kenapa kau begitu baik pada orang sepertinya? Dia sudah berusaha untuk melukaimu."
Riana sedikit tersentak, lantas menunduk murung, "Tapi dia juga ..."
Mexis mengernyit karena tidak sepenuhnya mendengar ucapan Riana, dia hendak menanyakannya, namun terpotong oleh suara gemuruh dari pemandu acara.
"Pertarungan dimulai!"
***
"Gadis itu bodoh ya? C dan E? Dia benar-benar ceroboh," Envy bersedekap tangan dan mengomentari sebal pada layar. Dia seperti tidak tahu akan dirinya yang suka ceroboh dalam hal menantang murid-murid tanpa pandang bulu.
Leon menghela napas panjang, "Dia sudah gila," tambahnya bersandar di punggung kursi.
Beberapa saat, mereka terdiam tanpa sadar penasaran dengan pertarungan itu. Diingat lagi Envy pernah melihatnya menggunakan sihir untuk mengeringkan tubuhnya saat itu. Lalu, Leon diam-diam juga mengetahui bahwa Stella yang melemparkan batu ke arah kepala bedebah pada saat itu.
Mengingat jarak Stella dengan mereka saat mengganggu Riana lumayan jauh, tidak mungkin jika hanya menendangnya dengan 'biasa' saja.
Tatapan mereka sedikit menunjukkan rasa malas, tapi di sisi lain rasa penasaran itu mengalahkan rasa muaknya terhadap Stella.
***
Di studion, mereka saling berhadapan. Saat pemandu acara berseru tanda pertarungan dimulai, Zero lebih dulu mengeluarkan senjatanya.
"Decon, X," dia berseru dengan semangat, telapak tangannya mengeluarkan cahaya merah membentuk sebuah pedang berlapis api.
"Inilah senjata legendaris yang menemani kemenangannya selama ini. Decon X type A. Kekuatan api yang lebih panas daripada api. Bisa fatal jika terkena satu tebasan saja. Ini benar-benar mengagumkan!"
Zero merasa besar kepala mendengar sorakan girang dari bangku penonton meski itu hanya beberapa murid saja, "Keluarkan senjata sampahmu."
Stella menatap datar dengan ucapan remeh dari Zero. Dia menarik kalung yang melingkar di lehernya, menggenggam erat-erat lalu memejamkan kedua matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unstella : Antagonist Talent [END]
FantasyHal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri. *** Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku. Namun, semu...