CHAPTER XLVII

17.6K 3.1K 38
                                    

Perlahan, siluet monster muncul dari dalam lingkaran. Sepasang mata reptil menyala merah dalam kegelapan, lalu keluar wajahnya. Makhluk itu memiliki sisik tajam berwarna hitam, belum sepenuhnya menunjukkan seluruh bagian tubuhnya.

Kepala monster keluar, memiliki dua tangan yang pendek dengan cakar yang tajam.

"Black Sacra. Tidak mungkin."

Semua orang bergumam tak percaya. Legenda kelam tentang makhluk malapetaka yang tersegel ratusan tahun lalu kini muncul. Kekuatan Sacra Arbor yang terserap oleh Evola membuka segel itu.

Jantung semua orang seakan berhenti berdetak, kaki mereka bergetar seiring makhluk itu keluar dari lingkaran bayangan. Riana sampai tak sanggup menahan berat tubuhnya sendiri, dia terduduk dengan wajah pucat terkejut. Envy dan Leon membeku di tempat.

"Tidak mungkin kan ..." gumam Layla, suaranya bergetar. Meski lirih, Mexis dapat mendengarnya. Dia sendiri tak tahu, percaya tidak percaya, legenda itu muncul di sini. Malapetaka dari malapetaka, kegelapan dari kegelapan, jantung Evola.

Evola tertawa iblis. Seperkian detik Sacra Arbor kehilangan cahayanya, redup. Seluruh kekuatan telah terserap dalam lingkaran sihir itu. Sacra Arbor yang awalnya melayang beberapa sentimeter dari tanah, kini seperti pohon biasa yang mati.

Black Sacra, setengah tubuhnya yang panjang telah keluar. Monster itu meraung kencang membuat angin kencang menerpa daratan, disertai petir yang menyambar hingga tanah terasa bergetar. Seekor naga hitam.

"Matilah kalian semua! Binasalah kalian di sini! Tidak akan ada lagi cahaya untuk manusia rendah! Hanya akan ada kesengsaraan!"

Suara Evola lantang terdengar seperti kutukan. Semua orang hanya bisa bergetar mendengar seruan mengerikan itu. Ditambah dengan makhluk raksasa yang ukurannya melebihi luasnya istana, dia mampu melilit dua istana dengan tubuhnya.

Tak ada yang tidak menangis melihatnya. Kenyataannya, mereka menganggap ini adalah akhir.

Satu dua orang menangis tanpa suara. Tanpa sadar, tangan Stella mengepal kuat mendengar isakan pilu mereka, lantas ia mengusap kasar matanya yang sudah basah dari awal.

'Tidak seharusnya begini. Mereka hanya karakter, mereka tidak nyata. Sadarlah!' batin Stella bergejolak.

Dari awal dia hanya menganggap semua ini tidaklah nyata. Mereka hanya karakter yang diciptakan untuk menggerakkan sebuah cerita. Namun, hati tidak bisa dibohongi. Beberapa keras dia menyangkal, dia tidak akan pernah bisa mengelakkan perasaan yang ia rasakan pada 'karakter' ini.

"Kacau sekali," gumam Stella memprotes dirinya sendiri. Jika menganggapnya berharga, maka lindungilah hal berharga itu.

Stella melangkah mantap, menegarkan dirinya dan menyerahkan semuanya pada kemampuan yang selama ini dia miliki. Meski dia tidak yakin hanya dengan Exclart, Mytic, dan dua belas lingkaran sihir mampu mengalahkan dua makhluk kegelapan itu.

Stella berhenti di jarak lebih dekat dengan Evola, dia mendongak, menelan ludah tanpa sadar.

"Ini akan berakhir, Evola," tubuh Stella tegak menggenggam Exclart dengan kedua tangan gemetaran.

Dia tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Jika Stella menggunakan semua kekuatannya termasuk Mytic, mungkin ini akan menjadi pertarungannya yang terakhir, dan pergi dari dunia ini. Semua itu memiliki batasan, termasuk tubuhnya yang tidak mampu menampung banyak pengeluaran kekuatan jiwa itu.

"Jangan harap kau bisa menjadi pahlawan sendirian, gadis gila."

Stella sempat tersentak dengan suara itu. Namun dia hanya melirik datar sekilas kearahnya. Envy berdiri di samping Stella, tubuhnya menyerong dengan Aexdark yang terarah ke depan.

Wajahnya dipenuhi luka dan debu, kotor, dan kacau sekali penampilannya di mode iblis itu. Dia tersenyum, menatap Stella seakan tak memiliki beban apapun, "Tidak akan ku biarkan kau menjadi pahlawan tanpa diriku."

"Jangan mimpi," bisa saja mereka mati sebelum diangkat menjadi pahlawan benua. Itu yang Stella pikirkan setelah kalimat Envy selesai.

Envy membuat ekspresi tertekan, "Kau benar-benar menyebalkan sampai akhir," ujarnya memasang kuda-kuda.

Tanpa Stella sadari, seseorang menggenggam tangannya yang terus gemetar samar. Stella menoleh, mendapati sosok Riana dengan mata sembab dan penampilan kacau berdiri di sampingnya. Leon, Layla, Mexis dan Aiden ada di sana.

Mereka mengeluarkan senjata masing-masing, terkecuali Riana dengan tangan kosong.

"Kita, akan melakukannya bersama."

Riana tersenyum begitu tulus. Stella tidak merespon, dia mengabaikannya begitu suara menggelegar datang dari langit. Semua orang mendongak, waspada untuk apa yang akan terjadi.

"Tidak ku sangka ini bisa menjadi hari terakhirku," Envy terdengar begitu pasrah, tapi dia tidak ada niatan untuk mundur.

Leon hanya tersenyum kikuk, dia ikut memikirkan hal itu. Sempat kecewa, bagaimana dengan ucapan lamarannya pada Riana?

"Kawan, majalahku belum terbit," Layla merespon dengan lemas, dia menatap kameranya yang setia ada di lehernya, meski sekarang kamera itu rusak total.

"Tolong, ini serius. Jika aku mati, berkunjunglah ke makam ku dengan membawa bunga mawar," Envy menambah, sedikit bergurau di situasi seperti ini.

"Akan ku bawakan bunga bangkai," Mexis membalas datar. Dia muak dengan drama dari Envy.

"Hei kau," Envy menatap tajam Mexis, mengirim bahasa isyarat kematian.

Stella memilih menatap Sacra Arbor. Pohon itu, benar-benar mati. Daunnya berguguran begitu cepat, dahannya mengering, tidak ada warna, hanya ada warna coklat kering. Mungkin saja, mereka akan mati sepertinya.

"Kalian tidak akan mati sebelum kami."

Pikiran Stella terbuyar dengan suara berat di dekat mereka. Tatapan mereka tertuju pada portal yang muncul di depannya. Mereka tanpa sadar membentuk sebuah garis lurus, membentang ke samping.

Keluar tiga sosok pria dengan penampilan berantakan dan beberapa bercak darah. Ketiganya berwajah garang, tegas. Siapapun yang menatap mata mereka akan bergidik. Bahkan, Evola yang menyaksikan tiga pemimpin antar ras mulai menampilkan ekspresi tak senang.

Namun, seketika dia tersenyum, "Akhirnya kalian muncul."

Stella mengernyit memperhatikan gerakan Evola yang memukul tangannya ke atas. Seperkian detik, Black Sacra meraung. Mulutnya terbuka, napas api muncul darinya. Semuanya terkejut, kecuali Raja Vermilion, Reaffles, dan Demonic.

Belum sempat mereka menghindar, Stella bahkan belum sempat berteleportasi, membran barier transparan muncul menyelimuti mereka. Api terbelah menjadi dua diantara barier. Sebagian panasnya bahkan tidak mampu ditampung barier itu.

"Hampir saja."

Suara seorang wanita muncul sesaat setelah api itu menghilang, menyisakan asap yang mengepul. Profesor Egatha dengan senjata tongkat yang bercahaya menciptakan barier di waktu yang tepat.

Riana mendekat pada Profesor Egatha, wajahnya yang cemas kembali nampak, "Profesor Egatha! Sacra Arbor ...."

Profesor Egatha menggenggam pundak Riana, menenangkannya dengan sihir yang menjalar hangat dari telapak tangannya, "Ya, aku tahu. Tapi, mungkin ini belum terlambat, Riana. Sebelum inti dari pohon suci tidak termakan oleh kegelapan, maka semua tidak akan mati."

Profesor Egatha menatap Stella yang juga menatapnya, "Evola hanya menyerap kekuatan Sacra Arbor, bukan inti. Aku yakin itu."

Inti pohon suci berupa kristal murni. Jika Evola belum menyentuhnya, bisa menjadi kesempatan bagi mereka menaklukannya. Namun, keberhasilan Evola membuka segel Black Sacra, apa bisa mereka mengalahkannya?

つづく

ーARIGATO FOR READINGー
THANKS

The Unstella : Antagonist Talent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang