Semua orang menoleh padaku, membuat hening sekilas. Terutama pada orang yang baru saja ku sebutkan, dia menatapku dengan dahi mengernyit, "Kau mengenalku, Nona? Tidak ku sangka," ujarnya menaikkan alis.
Aku menunjuk diriku sendiri dengan meletakkan telapak tangan di depan dada, berusaha tersenyum meski akan terlihat kaku di hadapan mereka.
"Perkenalkan, Saya Aristella Julius de Vermilion. Tentu saya mengenal Anda, Nyonya. Bukankah salah satu cabang toko butik Anda lah yang membuat seragam ternyaman ini? Kami sangat berterimakasih."
Aku berhasil membuat pandangan mereka terpaku dengan kata Vermilion yang ku sebutkan dalam nama belakangku. Dengan tegak aku berdiri masih berusaha tersenyum, "Untuk hal yang Anda sampaikan, kami akan terima 'saran' itu, namun perlu pula kalian ketahui. Kami, Academy Evergreen mengajarkan kemandirian dan profesionalitas murid-muridnya."
"Sistem akademi ini berbeda dengan akademi lain yang menjunjung tinggi pendidikan teori, kami menjunjung tinggi nilai kekuatan untuk bisa menjaga diri sendiri dari mara bahaya," ujarku panjang lebar tanpa berniat menyinggung tapi semoga saja mereka tersinggung. Sudah tidak tertahan lagi rasa geram ini, "Untuk keamanan kalian para tamu terhormat, Profesor Egatha sudah menunjuk saya dan 'teman' saya yang lain untuk membuat Anda sekalian merasa aman dan nyaman."
'Ogah.' batinku dengan maksud sebenarnya.
Aku kembali mengangkat tangan di depan dada, "Kami akan melindungi kalian dengan baik."
'Najis.' batinku sekali lagi.
Salah satu dari mereka melangkah mendekat padaku. Wibawa orang ini berbeda dengan mereka, tatapannya terasa dingin. Sejujurnya aku sedikit merasakan aura menekan darinya.
"Apa kami bisa mengandalkan kalian? Murid Academy Evergreen," ujarnya.
Aku menatap tenang, kembali tersenyum sebisa mungkin, "Tentu, Tuan Marvis. Anda bisa mengandalkan kami."
"Benar. Kami akan melindungi Anda sekalian dengan baik," tambah Riana untuk meyakinkan mereka. Melihat keyakinan kami, Tuan Marvis berdiri tegak, membuatku yakin dia percaya dengan ucapan itu.
"Silakan lewat sini," Profesor Terra mengarahkan para tamu untuk jamuan makan bersama.
Sampainya di sana, ada sesuatu yang aneh. Makanan tak kunjung datang meski sudah lima menit diumumkan kedatangan para tamu. Isi ruangan kini ricuh.
"Bagaimana kabar ketua Lera?" Profesor Egatha terus-menerus mengulur waktu meski di wajah para tamu kini sudah curiga.
'Dimana mereka? Ada yang tidak beres.' Aku balik badan untuk pergi ke suatu tempat.
"Yang Mulia? Anda mau kemana?" Riana bertanya pelan mengikutiku. Aku tidak menjawab, segera keluar ruangan menuju dapur utama akademi. Sebagai seorang chef, tidak akan membiarkan para tamunya menunggu lama meski hanya lima menit.
"Apa yang terjadi di sini?"
Aku segera masuk ke dalam tanpa permisi, orang-orang dengan pakaian putih dan topi chef menoleh ke arahku dengan tatapan sedikit panik.
"I-itu, makanannya ..."
Aku mengambil sendok terdekat, menggeser satu koki yang bertugas dibagian saos, menyendok sedikit saos itu lalu mencicipinya.
'Asin.' aku menatap datar pada mereka, "Apa kalian ini seorang chef? Bagaimana bisa kalian memasak sekacau ini?"
"I-itu, kami sudah memasaknya sebaik mungkin, tapi tiba-tiba saja saat mencicipinya kembali semua itu terasa asin."
"Benar. Semua makanannya terasa asin."
Aku mengernyit tak senang, 'Ada yang janggal. Namun ini bukan saatnya.'
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unstella : Antagonist Talent [END]
FantasyHal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri. *** Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku. Namun, semu...