"Kau sudah siap?"
Envy bertanya dengan wajahnya yang terlihat antusias. Penampilannya sama seperti hari-hari lalu, berantakan, seperti biang kerok pada umumnya.
Aku hanya mengangguk datar karena masih mengantuk, sesekali menguap tak bersalah.
Babak kedua telah dimulai. Hari ini, banyak orang yang datang ke akademi—lebih banyak daripada babak pertama yang diselenggarakan kemarin. Studion pada pukul tujuh sudah di padati orang-orang, padahal di studion itu mampu menampung lebih dari dua ribu penonton, tapi masih saja tidak cukup.
Mereka bukan hanya sekedar datang saja dari jauh. Ada alasan khusus untuk datang ke babak kedua ini. Ya. Mungkin karena Kaisar menyaksikannya langsung bersama tiga Raja dari ketiga kerajaan di benua ini. Ayah pasti juga datang. Atau mungkin, mereka 'sedikit' penasaran tentangku.
"Bersemangat lah sedikit, kita harus memenangkan ini." Envy berseru memberikan semangat.
Aku tidak mengelak, babak ini adalah penentu siapa yang akan menjadi Tujuh Bintang ke depan. Aku juga tidak mengelak, sekarang kami adalah anggota tim. Jadi apapun yang terjadi harus tetap kompak saja.
Babak kedua mengharuskan peserta untuk berpasangan. Terdapat dua belas pasangan yang maju ke babak kedua ini, dan terdapat dua sesi. Satu sesi penyaringan dan seleksi, satu sesi untuk final dan hanya akan ada tiga pasangan saja yang lolos.
Untuk menjadi Bintang Utama, Kaisar langsung yang akan memilihnya. Tetapi dari itu semua, aku tidak mempercayai Kaisar, sekaligus benar-benar tidak menyukainya. Sama sekali tidak—lebih tepatnya sangat amat sangat membencinya.
"Kau yang harus menyerang di pertarungan pertama. Kau juga yang harus maju, mengerti?" Kepalaku dan Envy saling mendekat selayaknya melakukan diskusi di meja makan.
Envy mengangguk saja sembari memakan sarapannya. Beberapa detik, dia menatapku dengan tanda kesadaran.
"Kenapa hanya aku yang maju?!" Teriaknya menggebrak meja dengan kepalan tangan, lalu menunjukku dengan kesal, menampilkan tanda perempatan silang di pelipisnya, "Kita harus menyerang bersamaan sialan."
Aku menghela napas tipis, menatapnya datar sedikit emosi, bersedekap tangan seraya bersandar di punggung kursi, "Aku akan tetap menyerang, tapi pada jarak jauh, di barisan belakang."
"Hah? Kau pengguna pedang bukan ... eh." Envy mengehentikan ucapannya, memegang dagu seperti berpikir, "Kau juga bisa menggunakan busur ya ..."
'Baru sadar kau?' batinku kesal, "Kau tahu itu. Lagipula kemampuan Mythic hanya bisa digunakan satu kali dalam 24 jam."
Mythic hanya bisa digunakan saat aku menggunakan Exclart Blade—hanya untuk pedang—tidak bisa digunakan untuk busur, atau tongkat sihir.
Di saat-saat terakhir babak pertama kemarin, aku menggunakan Mythic di menit ke sepuluh, tepat pukul empat sore. Sama dengan yang lalu, saat bergumam mantra, semua terlihat seperti adegan slow motion dari segala arah.
Tubuhku bergerak cepat, seakan menembus Frenzi yang belum sempat menghindar. Beberapa detik hening, tubuh Frenzi tumbang dengan senjatanya yang lenyap menjadi percikan cahaya, melebur di udara.
Setelah itu, semuanya gelap. Namun saat aku tersadar, sudah berada di ruang perawatan akademi. Ya. Aku pemenangnya. Profesor Egatha yang langsung memberitahukan hal itu padaku, sekaligus kabar bahwa Frenzi dan rekan kecurangannya didiskualifikasi dari pertandingan. Hukuman lain, ya, Frenzi dikeluarkan dari akademi.
Tambahan lain, kesalahan sistem itu terbukti murni rencana Frenzi dengan motif hendak menyingkirkan ku dari pertandingan. Namun yang mengherankan dari semua itu hanya satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unstella : Antagonist Talent [END]
FantasyHal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri. *** Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku. Namun, semu...