Pukul lima sore.
Kami terlempar. Ya. Terlempar dari portal itu. Awalnya biasa-biasa saja di sebuah lorong seperti pusaran air, namun beberapa menit kemudian semua berubah guncangan seperti melewati jalan yang rusak dengan mobil.
Envy yang pertama kali keluar dari portal, dia terjatuh di tanah dengan posisi tengkurap, memekik kesal. Karena kehilangan keseimbangan dan terlempar, aku tanpa sengaja terjatuh di atasnya saat hendak bangkit.
"Sialan! Kenapa kau jatuh di atas ..."
Belum selesai kalimat Envy, Riana muncul ikut terlempar. Sialnya, dia terjatuh di atasku saat belum sempat berdiri.
"Astaga!" Riana memekik kaget, berdiri menjauh dari kami.
'Sialan. Pinggangku. Ah tidak. Ini tidak seberapa dibandingkan dengan ... oh. Gawat.' batinku tersenyum kaku.
Envy. Ya. Mungkin dia mengalami patah tulang punggung karena kami yang terjatuh di atasnya. Lihat. Nyawanya sekarang melayang setengah dari raga.
"Sialan kalian. Badanku, remuk." Envy bicara dengan nada serak, memegang punggung dan pinggangnya.
Aku berdiri tidak peduli. Ini bukan salah kami. Tapi portal itu. Portal sialan. Riana membantu Envy untuk duduk.
Portal itu membawa kami di tengah hutan yang lumayan ditumbuhi tanaman alami. Kami berada di samping sungai yang mengalir jernih. Kata Profesor, akan ada kendaraan yang membantu kami untuk ke setiap titik tempuh, Aku menatap sekitar untuk mencari, benar saja. Sebuah mobil berukuran kecil seperti mobil kodok terparkir di antara pohon.
"Cepat. Tidak ada banyak waktu." Aku melangkah mendekat pada mobil itu, tapi, tidak ada orang.
"Dimana sopirnya? Jangan bilang profesor hanya meninggalkan kendaraan tanpa pengemudi?"
"Mungkin belum datang?" Riana membalas polos. Aku memutar bola mata, malas menanggapi, membuka pintu belakang, "Masuk."
"Bagaimana kita menggunakan itu jika pengemudi saja tidak ada?" Envy lagi-lagi membantah. Aku menatapnya tajam, "Masuk saja. Cepatlah."
Sekilas, Riana dan Envy saling bertatapan. Riana mendekat, lebih dulu masuk tanpa ragu ke dalam mobil. Pintu yang ku buka seakan tidak dianggap oleh Envy, dia melewati ku dan memilih bangku depan, samping kemudi. Aku menghela napas tipis, mencoba bersabar, lantas menutup pintu belakang itu dan masuk di bangku pengemudi.
Envy menatapku bingung, "Kenapa kau duduk di situ?" tanyanya saat aku mengenakan sabuk pengaman.
Dengan menyalakan mesin mobil, kemungkinan Envy sudah tahu jawabannya. Riana menatap cemas, Envy sudah pucat lebih dulu. "Tunggu. Kau akan menjalankan benda ini?" Tanyanya.
"Ya, apalagi?" Jawabku menekan tombol di depanku. Sama seperti mobil di kehidupan sebelumnya, hanya saja lebih modern. Jika mau, mobil ini bisa bertransformasi menjadi mobil terbang.
"Hey, hey. Kau akan melakukannya?" Tanya Envy kembali, kini benar-benar dia pucat pasi.
Selesai dengan persiapan berkendara, aku memegang tuas kemudi, menatap jalan di depan dengan rimbunan pohon di sekitarnya.
"Yes. I do."
Tanpa berlama-lama, aku mendorong tuas kemudi sekaligus menginjak pedal gas. Mobil berdesing dengan suara ricuh dari roda belakang yang berputar. Segera melaju dengan kecepatan tinggi ke jalanan berumput ilalang.
Envy memegang erat tangan kursi, punggungnya begitu menempel pada punggung kursi karena kecepatan lebih dari enam puluh kilometer per jam. Riana di belakang sudah memakai sabuk pengamannya, mencengkeramnya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unstella : Antagonist Talent [END]
FantasyHal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri. *** Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku. Namun, semu...