"Exclart."
Percikan kecil muncul di genggaman telapak tanganku yang kemudian membesar dan memanjang membentuk sebuah pedang. Ternyata mudah untukku.
Sebagai seorang 'chuunibyou' di kehidupan pertama ini sama seperti memainkan peran sebagai pahlawan yang memanggil kekuatannya. Berguna juga menonton anime action waktu itu. Dulu sempat sekali orang-orang meremehkanku hanya karena menonton 'kartun' anak kecil.
'Sekarang, bagaimana caranya menggunakan kekuatan?' Aku diam memegang dagu seraya menatap pedang berwarna hitam itu.
Beberapa saat kemudian kepalaku memperoleh pencerahan. Aku menghunuskan pedang ke atas udara, memejamkan mata lalu bergumam asal, "Airclo."
Aku cepat membuka mata terkejut saat terasa getaran kuat pada pedang yang ku genggam. Pusaran angin mengelilingiku tanpa celah, pedang itu bersinar hijau mengeluarkan aura sama seperti angin.
'Ah ... jadi begitu ya.' Sekuat tenaga ku ayunkan pedang itu ke udara, membuat pusaran angin kini menerpa sekitar.
Disisa angin yang bertiup, pedang itu masih bercahaya samar, perlahan meredup seiring angin berhenti berhembus. Tanah di depanku terlihat sedikit retakan memanjang seperti sabit.
Aku mengepalkan satu telapak tangan, 'Keren Stella.' batinku terharu.
Batinku bahagia, tapi tidak dengan wajahku. Batinku ingin melompat girang, tapi tidak dengan ragaku. Begitu mustahil rasanya, namun rasanya sangat puas.
Sedikit merilekskan tanganku, pedang itu bercahaya lalu lenyap kembali menjadi sebuah kalung batu kristal hitam menyisakan beberapa percikan cahaya.
Aku tidak bisa menggunakan sembarangan senjata karena itu peraturannya. Murid dilarang menggunakan senjata di luar Everglori.
Tidak terasa langit telah menampakkan warna oranye. Sepertinya, aku terlalu menikmati hal ini sampai-sampai lupa waktu. Kekuatannya memang belum sepenuhnya bisa ku gunakan, tapi ini lumayan untuk dijadikan sebagai senjata sementara.
Saat hendak kembali, sesuatu menyita pandanganku. Sosok laki-laki berambut coklat di bawah pohon, menatap langit sore yang memang terlihat indah.
'Hm. Paling orang putus cinta.' batinku melangkah tak peduli.
***
Aku kembali ke dalam gedung asrama. Di sepanjang lorong hanya terdapat satu dua murid saja sampai langkahku terhenti menatap malas ke arah depan. Dua orang kini tengah berbincang di depan kamar asramaku.
"Biarkan aku mengobati lukamu."
Seorang gadis cantik menatap khawatir Envy di depannya. Dia Riana. Ya. Siapa lagi kalau bukan dia. Aku hanya mendengus malas berjalan mendekat membuat mereka menoleh padaku.
Tanpa bicara, aku melewati mereka acuh, membuka pintu kamar dengan RectaPhone begitu saja. Saat hendak masuk, langkahku terhenti.
"Kenapa gadis itu di sini?"
Suara yang asing namun dingin, akhirnya aku bertemu dengannya. Leon. Dari tatapannya saja sudah jelas aura permusuhan.
"Teman sekamar," Envy yang menjawab dengan malas bersedekap tangan. Aku memandang masa bodoh hendak melangkah masuk, tapi lagi-lagi terhenti.
"Apa? Kalian teman sekamar? Hey kau, jangan bilang ini trik murahan mu untuk melukai Riana lagi."
Aku menghela napas tipis, mereka menatapku dengan waspada. Ku tatap balik mereka datar, "Untuk apa?" balasku tak peduli.
Leon mengernyit tajam, "Menjebakku." lanjutnya dengan 'sedikit' percaya diri.
Aku mendekat dengan tatapan dingin. Saat jarakku dan Leon semakin dekat, dia menatapku tajam menarik Riana ke belakangnya untuk melindungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unstella : Antagonist Talent [END]
FantasyHal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri. *** Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku. Namun, semu...