Satu

12.8K 2.4K 172
                                    

Teman-temannya sudah dalam formasi lengkap saat Tanto masuk dalam kafe tempat mereka biasa bertemu. Akhir-akhir ini mereka jarang bisa berkumpul berlima karena biasanya ada saja salah seorang di antara mereka yang punya kegiatan lain di waktu pertemuan yang sudah mereka sepakati.

Teman yang biasanya mangkir adalah yang sudah memiliki pasangan karena prioritasnya sudah berubah. Bagaimanapun, menghabiskan waktu bersama keluarga jauh lebih penting daripada sekadar nongkrong dan ngobrol ngalor-ngidul bersama sahabat. Mereka toh bisa melakukannya di grup WA. Bercanda sambil nongkrong bersama dengan bersahut-sahutan melalui ketikan di ponsel memang berbeda, tapi mau bagaimana lagi?

"Sori, gue telat." Tanto menempati satu-satunya kursi kosong yang tersisa di meja yang dikelilingi teman-temannya. "Gue harus menyelesaikan semua pekerjaan sebelum cuti."

"Lo beneran mau cuti?" ekspresi Rakha menunjukkan kalau dia meragukan kata-kata Tanto. "Selama ini lo belum pernah mengambil cuti panjang, kan? Biasanya kan hanya nambahin 2-3 hari saat weekend untuk liburan. Control freak seperti lo kan paling nggak bisa mendelegasikan pekerjaan sama orang lain."

"Gue bukan control freak," bantah Tanto. Dia memang punya kebiasaan memantau seluruh pekerjaan karena ingin meyakinkan semuanya berjalan sesuai rencana sehingga target bisa tercapai, tapi bukankah semua pemimpin seperti itu? Tanto harus membuktikan pada Tuan Subagyo bahwa dia bisa melakukan pekerjaan yang dibebankan kepadanya dengan baik.

"Ya, tentu saja lo bukan control freak," Risyad tertawa. Nadanya sama seperti Rakha yang tidak memercayai ucapan Tanto.

Tanto mengedikkan bahu, malas melanjutkan pembelaan dirinya. Percuma. "Bayu bisa meng-handle semua pekerjaan gue selama gue cuti. Kalau Tuan Subagyo mau membuka mata lebar-lebar, dia pasti sadar jika selama ini dia memandang sebelah mata pada kemampuan anak bungsunya. Kesempatan ini bisa jadi ajang pembuktian diri bagi Bayu."

Yudis berdecak. "Lo hanya cuti sebulan. Waktunya terlalu pendek untuk menaikkan pamor adik kesayangan lo itu di mata bokap lo."

Yudis mungkin benar, tapi Tanto tidak bisa meninggalkan kantor lebih lama. Rasa tanggung jawab tidak mengizinkannya. Cuti kali ini pun bukan murni karena keinginan melepaskan penat setelah berjibaku dengan pekerjaan tanpa jeda yang benar-benar panjang.

Tanto melakukannya lebih untuk menemani Nyonya Subagyo yang sedang memilih menyepi di salah satu resor mereka di pedalaman Sulawesi setelah menjalani operasi bypass jantung.

Beberapa tahun terakhir, kesibukan membuat Tanto jarang menghabiskan waktu cukup lama bersama Nyonya Subagyo. Kadang-kadang, dia memang menginap di rumah Tuan dan Nyonya Subagyo di akhir pekan, tapi dia datang ke sana saat malam, dan kembali ke apartemennya sendiri keesokkan hari.

Tanto merasakan dorongan untuk lebih dekat pada Nyonya Subagyo yang cerewet, tapi penuh perhatian itu menjelang operasi jantung yang membuat Tanto tegang karena khawatir. Dia berjanji dalam hati untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya.

Dan ketika Nyonya Subagyo mengatakan hendak tinggal sementara di resor favoritnya setelah operasi, Tanto memutuskan mengambil cuti untuk menemaninya. Lagi pula dia tidak benar-benar meninggalkan pekerjaan, karena Bayu pasti tetap akan menghubunginya saat harus mengambil keputusan penting yang fundamental bagi perusahaan.

Kalau biasanya Tuan Subagyo mengerutkan kening saat Tanto mengatakan dia butuh libur beberapa hari, kali ini dia langsung setuju ketika mendengar Tanto akan mengambil cuti panjang. Tuan Subagyo hanya perlu mendengar nama Nyonya Subagyo disebutkan dalam alasan cuti. Dasar bucin! Ternyata usia tidak bisa menjadi alasan untuk berhenti menjadi budak cinta. Tuan Subagyo pasti tidak keberatan kehilangan perusahaannya asal tetap memiliki istri tercintanya di sisinya.

"Dua minggu depan, gue akan ke Morowali," kata Risyad. "Gue bisa menyusul lo ke resor, jadi kita bisa menyelam bareng. Kalau Kiera nggak sibuk ngerjain bukunya, gue sekalian ajak dia liburan."

"Maksudnya lo mau pamer kemesraan sama jomlo lapuk yang nggak laku-laku seperti dia?" Rakha menunjuk Tanto sambil tertawa. "Bagus kalau resornya punya guling, jadi ada yang bisa dia peluk. Kalau adanya cuman bantal kepala, bisa merana kuadrat dia!"

"Isi kepala lo hanya tubuh perempuan saja!" Dhyas yang sedari tadi Diam, ikut bicara.

"Ya, gue kan bukan elo semua yang bisa selibat saat sedang nggak punya pasangan. Ngapain juga merancap dan ngabisin losion kalau yang pengin gue belai harus ngambil nomor karena antreannya panjang banget?"

"Sinting!" omel Tanto. Dia bisa mendengar tawa beberapa pengunjung perempuan dari meja lain karena suara Rakha lumayan besar. "Lo bikin kita kelihatan seperti sedang mengadakan pertemuan mesum."

Rakha mengedikkan bahu tidak peduli. "Mereka pasti akan mencari tahu gimana cara mendapatkan nomor antrean untuk gue gilir. Perempuan. Gampang banget dibaca. Yang biasanya kalem dan imut seperti bayi kucing anggora yang baru keluar dari salon itu biasanya malah ganas banget di ranjang."

"Ya Tuhan!" Tanto menggeram karena Rakha tidak tertarik untuk mengecilkan volume suara.

"Jangan bawa-bawa Tuhan," sambut Dhyas. "Orang atheis seperti dia tidak percaya azab. Dia pikir surga dan neraka itu hanya dongeng untuk membuat orang bersikap baik."

"Gue belum pernah ke resor lo yang di Sulawesi," Yudis menengahi perdebatan teman-temannya. "Seru kali ya kalau kita semua ke sana. Anak gue bisa main pasir sepuasnya. Nanti gue tanyain Kay deh. Kalau dia mau, kami bisa ikutan ke sana weekend dua minggu depan."

"Jani pasti mau ikut kalau ada Kiera dan Kayana," kata Dhyas.

Rakha buru-buru menggeleng. "Maaf, tapi gue nggak ikut. Gue sudah bosan dengan pantai. Gue pindah dari Bali ke Jakarta untuk menghindari pantai dan dandanan seperti penyanyi reggae nyasar."

"Siapa bilang musik reggae identik dengan pantai?" Risyad berdecak.

"Bukannya semua musik video lagu reggae dibikin di tepi pantai?" Rakha balik bertanya. "Dengan batik khas Karibia dan rambut gimbal. Plus cewek-cewek seksi yang hanya pakai bra minim dan thong."

"Akhirnya tetap kembali ke tubuh cewek juga, kan?" Tanto menggeleng-geleng. Percakapan dengan Rakha tidak pernah jauh-jauh dari topik perempuan. Lebih tepatnya tubuh perempuan. Rakha lebih tertarik pada tubuh karena tidak berminat untuk terikat komitmen. Menurutnya, komitmen itu adalah film horor yang tidak punya ending. Dan tidak mau terjebak dalam situasi mengerikan seperti itu.

"Hidup tanpa perempuan itu kan membosankan, To. Gue butuh selingan setelah capek kerja. Dan untuk gue, selingan itu ya perempuan."

"Lo beneran harus mulai belajar melihat perempuan sebagai subyek, bukan sekadar obyek, Kha," kata Risyad.

"Lo bilang begitu setelah insaf jadi playboy. Gue kan nggak kepikiran untuk mengikuti jejak lo jadi playboy insaf." Rakha mencibir pernyataan Risyad.

"Nanti dia juga akan seperti itu kalau sudah bertemu perempuan yang akan dia lihat secara utuh, dari ujung rambut sampai kepribadian, bukan lagi sekadar tubuh yang seksi saja," Dhyas menepuk bahu Risyad yang duduk di sebelahnya untuk memberikan dukungan. "Lihat saja nanti."

"Kalau itu sampai kejadian, gue bakal ketawa sampai rahang gue lepas." Tanto ikut mendukung teman-temannya yang memojokkan Rakha.

Semuanya lantas tertawa bersamaan, mengabaikan Rakha yang berdecak sebal.

The Runaway PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang