Dua Puluh Delapan

12.4K 2.1K 97
                                    

Renjana melihat Tanto sedang ngobrol dengan ayah dan ibunya saat turun dari kamarnya. Beberapa hari lalu mereka berkenalan, ketika Tanto datang untuk bertemu Renjana. Kelihatannya orang tuanya menyukai Tanto. Semua orang tua memang pasti akan menyukai Tanto yang dewasa dan sopan.

Tanto sudah beberapa kali datang ke rumah ini, tapi ini untuk pertama kalinya mereka akan keluar bersama. Renjana sudah memberitahu tahu ibunya tentang ajakan keluar itu, dan ibunya sama sekali tidak keberatan. Dia malah senang. Ibunya baru tampak was-was saat bertanya, "Tanto sudah tahu tentang kondisi kamu, kan? Itu penting supaya dia juga tahu batasan kamu saat kalian keluar bersama. Jadi dia nggak mengajak kamu melakukan aktivitas fisik yang berat."

Renjana menggeleng ragu. Dia tahu kalau dia harus jujur pada Tanto soal kondisinya. Sangat tidak adil bagi Tanto yang berpikir kalau Renjana sama aktifnya dengan perempuan lain.

"Belum, Ma." Matanya yang tadi berbinar mendadak layu. "Aku takut Mas Tanto nggak akan bisa menerima kondisiku. Aku memang harus jujur padanya, tapi tidak sekarang. Apa aku salah kalau aku ingin menikmati perasaanku sekarang? Aku tidak mau kehilangan dia. Tidak sekarang."

Ibunya merentangkan tangan, mengundang Renjana dalam pelukannya. "Tentu saja kamu tidak salah. Semua orang berhak merasa bahagia. Tapi apa yang kamu pikirkan tentang penerimaan Tanto itu kan baru prasangka kamu. Belum tentu Tanto akan menerimanya seperti itu. Lagi pula, kondisi kamu baik-baik saja. Selain nggak boleh melakukan aktivitas yang berpengaruh pada kerja jantung, kamu sama saja dengan orang sehat lain. Kamu sudah melewati masa kanak-kanak dan remaja dengan baik, padahal itu yang paling sulit karena itu adalah masa di mana keinginan untuk aktif sangat besar. Sekarang kamu sudah punya pengendalian diri yang jauh lebih baik. Tidak akan ada masalah. Kamu dengar sendiri dokter Hadi bilang begitu. Jangan menyiksa diri dengan pikiran yang aneh-aneh. Jangan melebih-lebihkan."

Renjana balas memeluk ibunya. "Aku memang suka melebih-lebihkan semua hal. Aku pasti baik-baik saja," katanya lebih untuk meyakinkan diri sendiri.

"Kalau kamu sudah menemukan waktu dan suasana yang cocok, kasih tahu Tanto. Dia akan bantu menjaga kamu dengan baik kalau sudah tahu kondisimu. Ketika kita mencintai seseorang, kita akan menerima orang itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalau tidak, itu bukan cinta."

"Iya, Ma." Nanti, tambah Renjana dalam hati. Tidak dalam waktu dekat.

**

"Kamu mau ke mana dulu sebelum kita makan siang?" tanya Tanto ketika mobil yang dikemudikannya sudah keluar dari pintu gerbang rumah Renjana.

"Kalau Mas Tanto mau ke mana?" Renjana tidak peduli tempatnya. Di mana pun itu, dia tetap akan menikmati waktu yang dihabiskannya bersama Tanto.

Apalagi ini pertama kalinya mereka akan menghabiskan waktu di luar rumah. Setelah kedatangannya dengan Ezra, biasanya Tanto mampir setelah pulang dari kantor. Tidak lama karena sudah malam. Sekarang adalah hari Sabtu, jadi mereka punya banyak waktu. Apalagi ibu Renjana sudah memberikan kode saat melepas mereka. Katanya, "Jangan pulang terlalu malam ya." Itu waktu yang panjang. Malam masih sangat jauh jaraknya. Sekarang masih pagi.

"Aku ikut ke mana pun kamu mau pergi." Tanto mengerling jenaka. "Hari ini aku resmi jadi sopir Renjana Wiryawan seharian."

Renjana tersenyum. "Tapi aku nggak tahu mau ke mana. Aku pikir Mas Tanto sudah nentuin tempatnya saat mengajak aku keluar."

"Perempuan biasanya lebih suka menentukan lokasi saat kencan. Aku nggak mau melawan hukum alam, takut dicap diktator pada kencan pertama. Nyari kamu di Jakarta itu sulit banget. Masa sih aku mau ambil risiko didepak padahal belum sempat balas dendam."

"Balas dendam?" Renjana terbelalak. "Memangnya aku salah apa?"

Tanto berdecak. "Memangnya kamu nggak merasa pernah melakukan sesuatu yang membuatku ingin balas dendam?"

The Runaway PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang