Enam

8.9K 2.3K 108
                                    

Tinggal di dalam bungalo dan membaca buku melalui tablet sementara suara pekik camar memanggil-manggil terasa sangat membosankan. Renjana lalu melepas tablet. Dia meraih topi lebar dan kaca mata hitam besarnya sebelum keluar bungalo. Dia akan duduk-duduk sebentar di tepi pantai, menikmati gesekan pasir di telapak kaki sebelum masuk dan memesan makan siang.

Renjana bukan penggemar makanan laut karena hampir semua makanan laut yang pernah dicicipinya memiliki rasa amis yang khas. Tapi dua hari lalu dia mencoba memesan ikan bakar, dan ajaibnya, ikannya tidak tercium atau terasa amis. Itu adalah ikan bakar terenak yang pernah Renjana makan. Dia berniat memesan menu yang sama untuk makan siang kali ini. Ikan bakar sambal colo-colo.

Air laut sedang surut, sehingga pantai terlihat jauh lebih luas daripada biasanya. Ini fenomena alam lain yang belum pernah Renjana lihat sebelumnya, meskipun pernah mendengar Cinta menceritakannya sepulang berpetualang di suatu daerah di Maluku Tengah. Renjana sudah lupa nama tempatnya.

"Saat surut, garis pantai bisa bertambah sampai lebih dari 1 kilometer, Ren. Waktu itu biasanya dipergunakan oleh oleh penduduk lokal untuk mencari kerang, landak laut, ataupun gurita. Surutnya hanya beberapa jam sih, tapi beneran dimanfaatkan untuk mencari lauk, atau sekadar bermain oleh anak-anak. Aku dapat banyak foto-foto bagus di sana."

Renjana duduk di atas pasir. Dia membiarkan roknya ditempeli pasir putih. Pasir di sini bahkan halus dari pasir semua pantai yang pernah dikunjunginya. Juga sangat bersih. Resor ini benar-benar mengusung prinsip eco friendly. Sayang sekali tempatnya seperti di daerah antah berantah. Kalau bukan karena bucket list Cinta, Renjana tidak mungkin akan sampai di sini.

"Halo," suara itu diikuti gerakan seseorang ikut duduk di dekat Renjana. "Tidak lupa pakai sunscreen, kan?"

Renjana menoleh dan melihat wajah yang familier. Laki-laki ini adalah satu-satunya orang selain pegawai resor yang berkomunikasi dengannya setelah beberapa hari berada di tempat ini.

"Tidak, tidak lupa kok," jawab Renjana kikuk. Dia bersyukur karena memakai topi dan kacamata lebar sehingga kecanggungan yang pasti tampak dalam ekspresinya tidak terlalu kentara.

"Baguslah. Udara dan suasana pantai memang menyenangkan, tapi akibatnya untuk kulit nggak terlalu bagus. Jadi, sunsceen itu wajib hukumnya. Oh ya, nama kamu siapa?"

Itu pertanyaan sederhana, tapi tidak bisa langsung dijawab Renjana. Dia memesan tempat ini menggunakan nama temannya, Merry. Apakah dia harus menggunakan nama itu sebagai identitas selama di tempat ini? Jujur, Renjana tidak mengira akan berinteraksi dengan seseorang yang bukan pegawai resor, jadi dia tidak memikirkan soal nama yang akan dia gunakan ketika berkenalan dengan seseorang dalam penyamarannya.

Tanto bisa menangkap keraguan yang kental dari perempuan yang diajaknya bicara, jadi dia buru-buru melanjutkan, "Resor ini luas, tapi tempatnya terpencil, jadi kita mungkin saja akan sering bertemu selama masih berada di sini. Lebih enak ngobrolnya kalau saya sudah tahu nama kamu."

Tanto sebenarnya jarang sekali mendekati seseorang hanya untuk berkenalan. Kali ini adalah pengecualian karena perempuan ini membuatnya penasaran. Setelah dia pikir-pikir lagi, walaupun kecil, ada kemungkinan anak ini menggunakan identitas orang dewasa untuk memesan tempat, karena dia jelas-jelas belum cukup umur untuk memiliki kartu pengenal yang dikeluarkan negara. Umurnya pasti masih berkisar 15-16 tahun.

Anak-anak zaman sekarang tumbuh dengan cepat. Tanto memiliki keponakan sepupu yang tubuhnya sudah terbentuk padahal baru berumur 12 tahun. Masih kelas VI. Tubuh keponakannya bahkan itu lebih berlekuk daripada anak kurus ini, walaupun dia memang lebih tinggi.

"Cinta," kali ini Renjana merespons cepat. "Nama saya Cinta." Laki-laki itu tidak mungkin tahu dia berbohong. Tidak mungkin ada tamu resor yang meminta pengunjung lain menunjukkan identitas.

The Runaway PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang