"Itu tadi Cinta, kan?" Tanto menghampiri ibunya sambil menggendong Nistya.
Helga ikut melihat ke arah pandangan Tanto. "Iya, Ibu ajak dia sarapan sama-sama. Sudah terlambat untuk menyembunyikan kalau kamu anak Ibu, kan?"
Tanto tidak masalah kalau Cinta tahu hubungannya dengan ibunya. Dia hanya tidak mau Cinta mendapat kesan kalau ibunya bermaksud menjodoh-jodohkan mereka hanya karena yakin mereka punya chemistry, atau apa pun itu. Entahlah, sulit mengikuti cara berpikir ibunya yang absurd.
"Makan... Papa, Nistya mau makan!" Nistya merengek dalam pelukan Tanto, membuat perhatian Tanto teralihkan. "Kalau sudah makan, kita telepon Daddy ya? Daddy pasti sedih deh karena harus sarapan sendiri."
Tanto mencium pipi tembam Nistya. "Biarin aja Daddy jelek kamu itu sedih, yang penting kan Nistya senang-senang sama Papa Tanto di sini." Dia menggelitiki pinggang keponakannya.
Nistya tertawa geli. "Daddy nggak jelek kok."
"Tapi lebih ganteng Papa Tanto, kan? Cepetan bilang "iya", kalau nggak, Papa gelitikin terus nih!"
Tawa Nistya tak putus. "Iya... iya, Papa lebih ganteng," katanya menyerah.
Helga berdecak sebal. "Jangan digelitikin terus gitu. Kasihan. Ntar Nistya malah ngompol. Dia tuh kalau tertawa lama kadang sampai ngompol."
"Nggak ngompol, Eyang," Nistya protes di sela-sela tawanya. "Kan Nistya udah gede."
"Nah, karena Nistya udah gede, Nistya jalan sendiri ke restoran sama Eyang ya. Papa mau ke dalam dulu." Tanto menurunkan Nistya dari gendongannya.
"Hei, ingat kata Ibu!" seru Helga saat Tanto hendak beranjak masuk. "Kalau kamu beneran nggak tertarik, jangan dibikin baper ya!" nadanya mengancam.
Tanto hanya bisa berdecak. Nyonya Subagyo selalu bersikap protektif seperti itu kalau sudah suka pada seseorang. Padahal umur perkenalannya dengan Cinta baru beberapa hari.
Cinta tidak ada di lobi. Kening Tanto berkerut. Ke mana anak itu? Apakah dia langsung ke restoran melalui pintu samping? Konsep resor ini memang terbuka untuk membuat kesan menyatu dengan alam, sehingga ada beberapa pintu keluar masuk lain selain pintu utama untuk mengantar tamu yang hendak check in.
"Lihat tamu perempuan yang vilanya persis di sebelah vila saya?" tanya Tanto pada resepsionis. "Beberapa menit lalu dia masuk ke sini."
"Tadi tamunya masuk lift, Pak."
"Oke, makasih." Tanto tidak punya pilihan selain menyusul ibunya dan Nistya ke restoran. Dia tidak tahu harus mencari Cinta ke mana. Kalaupun nekad mencarinya, apa yang akan dikatakannya saat mereka bertemu? Tanto bahkan tidak tahu kenapa dia tadi hendak menemuinya.
**
Berlari dari sesuatu yang tidak mengejar itu konyol. Tapi Renjana hanya mengikuti insting untuk menghindar dari Tanto. Tadi, yang ada di hadapannya adalah lift yang terbuka, sehingga dia buru-buru masuk ke sana tanpa tahu hendak ke mana. Dia otomatis menekan tombol lantai teratas, yang paling jauh dari lobi.
Renjana melangkah ragu keluar dari lift yang akhirnya membuka setelah sampai di lantai paling atas. Masalahnya, dia tidak bisa langsung turun lagi. Mungkin saja Tanto dan keluarganya masih ada di bawah. Sia-sia saja Renjana melarikan diri kalau akhirnya malah bertemu lagi.
Seharusnya Renjana bisa melihat kemiripan antara Tanto dan Bu Helga. Dia hanya tidak memikirkan kemungkinan itu karena tidak pernah melihat keduanya berinteraksi. Apalagi Bu Helga tinggal di vila yang berbeda. Perempuan itu pernah menunjukkan vilanya, dan mengajak Renjana mampir saat mereka bubar dari kelas memasak. Ajakan yang waktu itu Renjana tolak karena sungkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Runaway Princess
General FictionRenjana kabur dari rumah untuk menyelesaikan bucket list yang dibuat oleh saudara kembarnya sebelum meninggal dunia. Dia merasa antusias sekaligus takut karena belum pernah melakukan perjalanan seorang diri. Apalagi dia harus merahasiakan identitas...