Dua Puluh Enam

10.3K 2.4K 298
                                    

"Gue masih sulit percaya kalau gue akan jadi comblang pas udah jadi bapak-bapak." Yudis terkekeh sebelum menyesap kopinya. "Padahal waktu masih sekolah dulu, tiap Risyad bilang ada cewek cantik, gue pasti cari cara supaya bisa nikung dia. Cuman untuk bikin dia sebel aja, karena aku juga nggak suka-suka banget sama tuh cewek. Gue pikir tugas gue adalah menjauhkan sahabat gue dari gebetannya, bukan malah menjadi comblangnya."

"Lo berdua kan memang gila sejak dulu. Untunglah sudah ketemu jalan yang lurus."

"Lo beneran suka ya sama Renjana? Sampai-sampai lo mau ketemu langsung kakaknya untuk nyari info." Yudis melanjutkan sebelum Tanto sempat menjawab. "Jangan salah paham, gue ada di sini karena mendukung elo. Maksud gue, pertemuan kalian terlalu singkat untuk langsung menembak hubungan yang serius, kan? Karena itulah yang akan terjadi setelah elo bertemu Ezra. Gue nggak terlalu dekat sama dia. Pertemanan kami di masa kecil hanya dihubungkan tamiya, itu pun gue lebih banyak sebelnya sama dia karena hampir semua turnamen yang kami ikutin dia yang dimenangin, padahal umurnya beberapa tahun di bawah gue. Kalah sama anak bawang itu kan bikin bete. Untung dia santai-santai aja pas beberapa tahun lalu kami terlibat proyek yang sama. Tapi kayaknya dia tipe yang sayang keluarga banget deh. Kami pernah sama-sama berada di Pangkep untuk menghadiri acara peletakkan batu pertama pembangunan pabrik semen yang menjadi proyek investasi bersama saat dia mendapat kabar adiknya sakit. Dia langsung pergi saat itu juga, tanpa menghiraukan menteri yang sedang memberikan kata sambutan. Padahal dia bisa menunggu setengah jam lagi sampai acaranya selesai."

"Gue juga akan melakukan hal yang sama kalau mendengar anggota keluarga gue sakit," ujar Tanto. "Gue yakin lo juga begitu."

"Intinya, gue hanya mau menyakinkan saja kalau tekad lo udah bulat. Lo nggak bisa plinplan saat mendekati anak Batara Wiryawan. Ayah dan kakaknya pasti nggak akan terima kalau lo tiba-tiba berubah pikiran di tengah jalan."

"Lo pikir gue mau melakukan ini kalau nggak serius? Gue duduk di sini, menunggu Ezra Wiryawan karena mau cari jalan yang cepat dan pasti. Masa sih gue mau main-main di umur segini? Gue nggak hanya yakin sama perasaan gue, tapi gue juga yakin Renjana suka sama gue. Gue hanya nggak tahu mengapa dia pergi tanpa memberitahu gue."

"Mungkin dia punya pacar?" tebak Yudis. "Jadi meskipun dia tertarik, dia memilih tetap setia pada komitmen. Itu alasan masuk akal untuk pergi diam-diam, kan? Tinggal lebih lama godaan selingkuhnya besar lho."

Memang masuk akal. Bukankah Renjana pernah mengatakan jika dia tidak sedang patah hati? Tangisan menyayat hati yang pernah Tanto lihat itu bukan untuk meratapi mantan pacarnya, tapi konflik dengan orang tuanya. Apakah konflik itu menyangkut hubungan Renjana yang tidak disetujui orang tuanya? Tanto buru-buru menggeleng. Tidak, dia tidak boleh membunuh harapannya sendiri dengan memikirkan hal yang belum pasti.

"Eh, itu Ezra datang!" Yudis berdiri untuk menyambut seseorang yang menghampiri meja mereka.

Tanto ikut berdiri. Dia mengamati kakak Renjana itu. Seperti kata Yudis, Ezra memang tampak lebih muda daripada mereka. Tanpa topi yang menutupi sebagian wajahnya seperti dalam tayangan CCTV, dia lebih mudah dikenali sebagai anak Batara Wiryawan.

"Terima kasih sudah mau datang, padahal saya ngabarinnya mendadak." Yudis mengulurkan tangan pada Ezra.

"Nggak apa-apa. Kebetulan saya juga sedang lowong." Ezra menjabat tangan Yudis. Pandangannya lalu tertuju pada Tanto, berusaha mengenalinya.

Tanto ganti mengulurkan tangan. "Pradhananta Subagyo. Tanto." Dia tersenyum. "Panggilan kesayangan yang diberikan adik saya, dan akhirnya melekat jadi brand."

Ezra balas tersenyum. "Subagyo yang hotel dan resor itu?" tebaknya.

"Iya, yang itu." Tanto lega karena dia ternyata tidak harus memperkenalkan diri lebih dalam.

The Runaway PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang