Tujuh

8.7K 2.2K 51
                                    

Cinta adalah perempuan paling kikuk yang pernah Tanto kenal. Terlalu kikuk malah untuk seseorang yang mengaku sudah berusia 23 tahun. Dia seperti orang yang sudah lama terisolasi sehingga tidak nyaman dengan orang yang tidak dikenalnya dengan baik.

Tapi rasanya menyegarkan melihat kecanggungan yang polos seperti itu. Tanto sudah terbiasa dengan perempuan-perempuan cantik yang menyadari pesona mereka, dan tahu bagaimana cara menggunakan kelebihan itu untuk menarik perhatian lawan jenis. Tanto tidak ingat lagi kapan terakhir kali dia bertemu dengan perempuan yang menghindari kontak mata dengannya. Perempuan yang lebih suka menekuri piring dan gelasnya ketika menjawab pertanyaan ketimbang menatapnya. Cinta bersikap seakan-akan Tanto seorang penghinopsis yang akan melumpuhkan lawan bicara yang berani menatapnya. Pikiran itu membuat Tanto geli sendiri. Lucu.

Satu lagi, Cinta sama sekali tidak balik mengajukan pertanyaan saat mereka berinteraksi. Seolah Tanto sama sekali tidak cukup menarik untuk dikulik. Itu juga sesuatu yang baru. Biasanya Tanto lebih banyak menjawab pertanyaan daripada bertanya ketika berkenalan dengan seseorang.

"Masih kuliah atau sudah kerja?" tanya Tanto ketika mereka sudah selesai makan. Piring-piring kotor sudah diangkat, menyisakan gelas minum mereka.

"Kuliah," jawab Renjana jujur. Dia tidak perlu berbohong untuk pertanyaan seperti itu.

"Jurusan?" tanya Tanto lagi.

"Manajemen." Ilmu yang mungkin tidak akan pernah diterapkan Renjana karena membiarkannya bekerja pasti tidak ada dalam rencana orang tuanya untuk dirinya. Dia adalah seorang putri yang harus dilayani, bukan dibebani oleh pekerjaan yang bisa membuatnya pusing dan lelah.

Pikiran itu membuat Renjana teringat ibunya. Mata ibunya pasti terus-terusan bengkak karena terus menangis memikirkannya. Rasa bersalah kembali menyergap. Dia mendesah, mencoba mengusir pikiran itu. Ibunya pasti baik-baik saja. Setelah petualangan ini usai, Renjana tidak akan melakukan hal gila lain sehingga ibunya tidak perlu khawatir lagi. Renjana membuang pandangan ke dinding kaca. "Langitnya biru banget," katanya mengalihkan percakapan. Dia tidak ingin teringat rumah.

"Bagus banget kalau difoto dari atas tebing." Tanto menunjuk tebing yang tampak jelas dari restoran. "Mau ke sana?" tawarnya.

Renjana buru-buru menggeleng. "Saya... saya sebenarnya tidak terlalu mengerti fotografi," katanya tersipu. Dia pasti terlihat seperti pembual besar. Berkeliling dengan kamera, tetapi tidak tahu cara menggunakannya. "Saya sama sekali buta tentang teknik pengambilan foto yang benar. Saya hanya asal mengambil gambar saja."

Pengakuan itu mengonfirmasi kecurigaan Tanto saat melihat cara Cinta memegang kamera ketika mereka pertama kali bertemu. "Kamera kamu bagus banget. Biasanya pemula tidak memakai kamera dengan spesifikasi seperti itu."

Wajah Renjana semakin merona mendengar kata-kata Tanto. Laki-laki itu jelas paham tentang kamera. "Itu... itu... bukan kamera saya. Itu punya kakak saya."

"Kakak kamu fotografer?" tanya Tanto tertarik. Hobi fotografi membuatnya selalu antusias saat bicara tentang apa pun yang berhubungan dengan foto. Selain iparnya, Tanto punya beberapa fotografer tanah air yang dia sukai karyanya. Profesi sebagai fotografer di Indonesia belum selazim jenis pekerjaan lain, sehingga ruang lingkupnya masih kecil. Jadi, mungkin saja kakak Cinta adalah seseorang yang dikenalnya. Jenis kamera yang dimilikinya adalah milik seseorang yang sudah mapan dengan pekerjaan. Harganya sangat mahal.

Dulunya, kata Renjana dalam hati. Tapi Tanto tidak perlu tahu detail seperti itu. "Iya, dia fotografer."

"Profesional, kan?"

Jujur, Renjana tidak tahu harus memasukkan Cinta dalam kategori profesional atau amatir. Cinta rajin mengikuti lomba foto. Di waktu luang, Cinta menerima pekerjaan sebagai fotografer untuk beberapa acara yang diselenggarakan oleh teman-temannya. Tetapi uang tentu saja bukan tujuan utama Cinta, karena isi kartu debit yang diberikan orang tua mereka jauh lebih banyak daripada yang sanggup mereka belanjakan. Apalagi Cinta bukan tipe boros yang mengikuti tren fesyen. Ransel kesayangan Cinta sudah bulukan, tetapi dia senang-senang saja memanggulnya ke mana pun dia pergi.

The Runaway PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang