CHAPTER 5 [SUDAH REVISI]

11.4K 714 81
                                    

Berawal dari malam itu, aku dan si Fardan Furdin gak cuma saling follow-followan IG, tapi juga saling tukar kontak di Whats App. Kami jadi lebih akrab, bahkan setelah dia kembali dinas di Malang kami masih suka ngobrol-ngobrol via chatting.

Tapi kadang aku risih kalau arah pembicaraan dia menuju ke pernikahan. Ya dia kalau mau bahas-bahan nikah kenapa ke aku? Kan aku bukan pegawai KUA. Kecuali dia mau konsultasi atau tanya-tanya soal hukum pidana atau hukum perdata masih bisa aku bantu.

Jujur meskipun aku udah putus sama Kak Andreas aku masih suka jalan sama dia. Aku juga gak menghapus foto-fotoku di Instagram sama dia. Kadang aku masih suka upload snapgram sewaktu kami lagi jalan bareng. Pernah sih beberapa kali aku menemui akun IG-nya si Fardan Furdin menjadi salah satu viewers di snapgram-ku.

Dua bulan kemudian, aku dan si Fardan Furdin sama-sama lost contact. Kami gak lagi saling menghubungi satu sama lain. Dia bahkan udah gak pernah lagi jadi viewers di snapgram-ku. Begitu juga dengan statusku di WA.

Kami pernah ketemuan di Malang sebelum kami saling menjauh seperti ini. Ralat, kayaknya cuma dia aja sih yang menjauh. Kebetulan waktu itu aku lagi menghadiri acara pernikahan sahabatku di Malang. Disana dia bahas-bahas soal pernikahan lagi.

"Kamu masih suka jalan sama mantanmu?"

Aku mengangguk mengiyakan.

"Kenapa? Bukannya udah putus?"

"Hmm... Gimana, ya? Meskipun sekarang status kami udah beda, tapi kami sama-sama gak punya alasan untuk saling membenci. Toh, kami putus karena adanya perbedaan iman, bukan karena hal lain."

Sedikit banyaknya aku sudah menceritakan tentang hubunganku dengan Kak Andreas pada si Fardan Furdin. Lagipula dia udah terlanjur tau wujudnya Kak Andreas. 

"Trus mau sampai kapan kamu kayak gitu?"

"Maksudnya?"

"Bukannya kamu putus sama dia karena kalian gak bisa nikah?"

"Ya trus? Masalahnya apa?"

"Kamu gak ada kepikiran untuk menikah dengan yang lain?"

"Gak ada. Mungkin, belum."

"Nana."

Padahal aku udah berkali-kali bilang sama dia kalau namaku bukan 'Nana' tapi dia tetap ngeyel. Ya udah aku pasrah, terserah dia mau panggil aku apa. Asal jangan panggil aku Zainuddin dan sejenisnya. Itu udah keterlaluan bangetttt... sangat menyimpang.

"Saya ada perasaan sama kamu. Tapi saya gak mau memulai hubungan dengan status pacaran. Saya sudah dewasa, usia saya sudah kepala 3. Saya gak mau buang-buang waktu untuk sesuatu yang gak pasti. Saya berniat untuk mengajak kamu menikah. Gimana?"

Aku tetiba speechless. Kami terdiam untuk beberapa saat. Suasana di antara kami pun berubah jadi canggung. Aku gak ngerti aja gitu kenapa tiba-tiba si Fardan Furdin bin Aladin ini melamarku. Habis ketiban pohon kelapa, kah?

Aku berdeham sebelum merespon, "Jadi maksud Mas Fardan, selama ini kedekatan kita mas anggap bahwa aku juga punya perasaan yang sama seperti mas?"

Aku merubah panggilan dari gue-elo menjadi aku-kamu. Selain karena dirasa kurang sopan mengingat jarak usia kami yang cukup jauh, aku juga takut kualat sama orangtua. Tapi si Fardan Furdin masih tetap pakai saya-kamu.

"Memangnya kamu enggak?"

"Menurut mas aja gimana? Mas ngerasa aku selama ini ada 'something' sama mas?"

Dia cuma menjawab dengan mengendikkan bahu.

"Gini ya, Mas. Maaf... banget. Aku senang ngobrol sama mas, sharing-sharing banyak hal sama mas tapi bukan berarti aku ada rasa sama mas. Aku menganggap Mas Fardan sebagai abangku aja gak lebih. Dan jujur aku masih ada rasa sama Kak Andreas. Aku mau menikah tapi aku masih berharap calon suamiku adalah Kak Andreas."

My Husband is My NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang