CHAPTER 32 [SUDAH REVISI]

7K 456 68
                                    

Terhitung udah 12 hari Mas Fardan gak ngasih kabar. Kalau begini situasinya, bingung antara mau sedih atau tenang. Di satu sisi sedih karena ditinggal pergi sebab ada panggilan tugas, tapi tenang karena alasannya do'i gak pulang-pulang bukan karena dia selingkuh.

Kalau Mas Fardan bilang dia akan pergi dalam waktu dua minggu, kemungkinan masih ada dua hari lagi tersisa sehingga jadi genap 14 hari. Tapi kemungkinan juga bisa lebih dari itu. Gak tahu, lah. Kadang dia suka tiba-tiba pulang tanpa ngasih kabar. Tahu-tahu udah markir motor aja di garasi. Seringnya gitu.

Intinya, bagiku gak masalah. Asalkan do'i pulang dalam keadaan utuh. Jari kakinya masih 10, begitu juga dengan jari tangannya. Kakinya lengkap kiri kanan, begitu juga dengan tangannya. Matanya juga masih lengkap dan normal kiri kanan, hidungnya masih 1, dan bibirnya tetap seksi lagi menawan.

Gara-gara sering diajakin nonton film perang nih dari tiga bulan yang lalu, aku jadi suka was-was setiap kali Mas Fardan ijin pamit ketika negara memanggil. 

Ya... yang namanya kecelakaan bisa aja terjadi kapanpun, kan? Dan aku gak pernah tahu medan tugas seperti apa yang dia tempuh.

Mungkin dia pikir dengan cara pamitan itu udah membuat hatiku tenang kali, ya? Padahal semakin membuatku gelisah tak tertolong. Lagi-lagi bayangan pertanyaan pada saat pengajuan dulu muncul setiap kali si Fardan Furdin pamit untuk menjalankan tugasnya sebagai abdinegara. Harus ikhlas dan siap menerima semisal si Fardan Furdin pulang tinggal nama.

Hamil makin tambah besar... persalinan udah di depan mata. Tapi kondisi kesehatanku makin menurun. Anemia-ku sering kambuh. Jadi gampang lemas, lelah, letih, lunglai, tapi gak pakai love you.

Dan hari ini waktunya aku check-up kembali ke dokter kandungan. Hamil di trisemester 3, membuat jadwal konsultasiku jadi jauh lebih sering demi memastikan keamanan dan keselamatan pada saat waktu persalinan nanti. Ini hamil kembar, loh. Yang risikonya bisa meningkat 2x lipat daripada hamil dengan satu janin. 

Aku pergi check-up ditemani sama ibu. Sekalian juga mau beli perlengkapan bayi untuk persiapan persalinan, soalnya aku belum belanja sama sekali. Niatnya nunggu si Fardan Furdin pulang, tapi ibu bilang persiapin aja dari sekarang. Toh, gak tahu pasti kapan si Fardan Furdin pulang apalagi untuk punya waktu belanja perlengkapan bayi. Barangkali do'i makin sibuk. 

Sepulang dari rumah sakit, ibu udah ceramah ini itu. Nih, sampai sekarang di dalam perjalanan pun ibu masih aja ngoceh gak berhenti-berhenti. Aku kira ibu orangnya gak cerewet, makanya aku langsung oke begitu ibu mau mengantar aku ke rumah sakit. Tahu gitu check-up sendiri aja kayak biasanya.

Tapi celotehan ibu gak aku dengerin karena pikiranku lagi dibayang-bayangin soal persalinan nanti. Gara-gara aku punya penyakit kekurangan sel darah merah, dokter bilang ada kemungkinan untuk aku melahirkan secara prematur. Dan yang namanya prematur, berat badan bayi pasti rendah. Kalau bayi berat badannya rendah alias kurang dari 2,5 kg bisa memicu potensi kehilangan penglihatan dan pendengaran, juga bisa cacat mental. 

Meskipun dokternya juga bilang ada kemungkinan untuk aku bisa melahirkan tepat waktu kalau aku rutin minum suplemen khusus yang diberikan olehnya serta menambah asupan zat besi misalnya sayuran hijau ataupun daging.

Sebenarnya faktor lain dari kondisi kesehatanku menurun ya karena stress. Semenjak hamil aku jadi gampang stress. Stress bukan dalam artian sakit jiwa loh, ya... Ini stress banyak pikiran. Padahal aku gak diminta buat bayar iuran warga. Harusnya yang pusing nih tetangga bukan, sih?

"Dek."

"Dek."

"Naya!"

Saking kebanyakan bengong, aku tersentak kaget lalu menjawab panggilan ibu. "Iya, Bu?"

My Husband is My NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang